Mencoba merefleksikan –
1 Juli 2016
Saat tulisan ini kubuat, ritual doa untuk 100 hari
meninggalnya ibu baru saja selesai seminggu lalu. Aku memang tidak bisa hadir
secara fisik pada peringatan tersebut, tapi doa untuknya terpanjat setiap lima
waktu. Tak kusangka sebelumnya bahwa tulisan ini akan kubuat di Pusdiklat
EBTKE, tempat terakhir aku berpamitan pada almarhumah ibu tahun lalu sebelum
akhirnya tanpa bertemu dengannya lagi langsung berangkat ke Kalimantan. Kali
ini, aku bahkan akan pergi meninggalkan rumah untuk tempat yang lebih jauh dan
lebih lama: Papua untuk satu tahun. Mengapa? Semoga tulisan ini bisa
menjawabnya.
Selama seratus hari lebih setelah ibu meninggal aku banyak
menemukan hal baru. Aku merasa ada sesuatu yang menggumpal dalam pikiran dan
jiwaku yang semakin lama semakin menguat, sebuah kesimpulan atas kehidupan yang
fana dan sifatnya sementara, sebuah skenario yang telah ditulis dan diarahkan
menuju hal-hal yang berkaitan. Hasil refleksi itu “mendatangiku” tanpa
kurencanakan dari pengalaman pribadi, juga dari buku-buku yang “menemukanku”.
Beberapa hari yang lalu Osa memintaku untuk mengumpulkan catatan harian sewaktu di lokasi penempatan karena diminta oleh ESDM. Kucari file catatan harian di Kalimantan, meskipun tidak utuh bisa kukirimkan juga sekadarnya. Permintaan catatan harian itu membuatku ingin membaca kembali apa yang pernah kualami selama di Kalimantan. Ternyata secara mengejutkan, ada peristiwa yang menyadarkanku bahwa tanda-tanda meninggalnya ibu telah tampak sebelum kabar duka tiba.
Di dalam Islam, begitu juga ajaran spiritual kultural Jawa,
peristiwa meninggalnya seseorang akan didahului dengan adanya tanda-tanda sekitar
tujuh hari sebelum nyawa dicabut. Catatan harianku di atas bertanggalkan 7
Maret 2016, sedangkan ibu meninggal tanggal 13 Maret 2016 malam. Setelah kurenungkan,
mungkin itulah cara Tuhan menyampaikan salam pamitan ibu untukku. Dia
menyampaikan salam melalui seekor burung yang perkasa, yang suaranya sanggup
membuat burung-burung lain berhenti berkicau agar salam itu benar-benar sampai
padaku. Di tengah suasana obrolan sore yang entah kapan bisa lagi terulang
bersama bapak angkatku di Kalimantan itu, aku saat ini baru bisa mengilhami
bahwa suasana hati kami sebenarnya juga murung. Kami murung mendengar suara
sasmita burung Kangkatau, murung bahwa kami suatu hari nanti akan mengenang
suasana sore itu, juga Tuhan mungkin menyelipkan kemurungan salam pamit dari
ibu yang belum kusadari.
Meskipun tak terlihat, aku masih bersedih. Apa lagi
ingatan-ingatan bulan puasa seperti ini adalah bulan yang paling dirindukan.
Biasanya ibu akan bangun lebih awal, menyiapkan hidangan sahur untuk keluarga,
bersama bapak membangunkan anak-anaknya, lebih giat menyuruh anak-anaknya untuk
sholat berjamaah ke masjid, sholat taraweh, menyiapkan kolak pisang dari pohon yang
bapak tanam sendiri di kebun belakang rumah, dan pada saat senja tiba tidak ada
kebahagiaan yang lebih bernilai daripada duduk bersama-sama sekeluarga di
hadapan hidangan sambil menantikan maghrib.
Aku tahu itu cuma kenangan. Pernah kubilang sebelumnya bahwa
“hari esok tidak akan lagi sama untukku”. Ya, hari ini tidak sama lagi. Bukan
hanya aku yang terpukul, tapi bisa kurasakan bapak dan adik-adikku juga. Inilah
pertama kalinya, aku belajar sahur, buka puasa, dan melakukan rutinitas lainnya
di bulan Ramadhan tanpa ditemani ibu. Aku, bapak, saudara-saudariku belajar
untuk pertama kalinya untuk banyak hal tanpa almarhumah.
“Belajar” ini adalah hasil refleksi yang paling utama untukku
dari meninggalnya ibu. Aku belajar lebih mandiri, mengingat dan menaati
perintah-perintah ibu ketika hidup, dan dalam beberapa kesempatan melakukan
hal-hal yang biasa ibu lakukan di rumah. Semuanya itu merupakan hal baru yang
membuatku menjadi pribadi yang lebih mandiri lagi.
Perlahan tapi pasti, ternyata ketiadaan ibu membuatku merasa
lebih dekat dengan Sang Pemilik Kehidupan. Aku merasakan bahwa orang sedekat
ibu bisa dengan tanpa disangka diambil kehidupannya begitu saja. Namun ketika
aku juga menemukan kehidupan dan kematian seseorang saat di Kalimantan, aku
menjadi semakin yakin bahwa di mana pun, kehidupan dan kematian terjadi. Ada
yang hidup di tengah keadaan yang berlimpah, berkecukupan, atau kekurangan. Ada
yang meninggal dalam keadaan naas, tenang, atau penasaran.
Di belahan bumi mana pun, itu semua bisa terjadi. Selanjutnya,
seperti telah Tuhan rencanakan buku-buku tentang kehidupan pun menemukanku. Buku-buku
karangan Cak Nun, Ahmad Wahib, Soe Hok Gie, dan Pram menguatkan ilham itu,
ilham bukankah kita tidak pernah meminta untuk hidup? Lalu hidup begitu saja
diberikan. Maka, sewaktu-waktu hidup itu diambil sebenarnya kita tidak punya
hak apa pun untuk menuntutnya. Kita hanya bisa berterima kasih bahwa kita
diberi kesempatan mengecap indahnya kehidupan, bisa belajar tentang banyak hal,
bisa mengenal keluarga tempat kita dititipkan, sahabat, teman, sosok-sosok
manusia yang agung, dan semua kesempatan yang pernah didapatkan.
Begitu pun dengan kehidupan ibu. Aku dan saudara-saudaraku
hanya bisa berterima kasih kepada Tuhan bahwa kami lahir dari rahimnya, bapak
berterima kasih karena disandingkan dengan sosok wanita yang amat sangat
penyabar, tak pernah menuntut apa pun kecuali kebahagiaan dan keberhasilan
anak-anaknya. Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah. Engkau telah berikan kami
kesempatan berada di antara manusia agung seperti dia semasa hidup.
Aku masih ingat betul dulu ibu pernah berkata, “Semoga kelak
kamu jadi manusia yang berguna buat bangsa, negara, dan agama.” Di kesempatan
lain ibu pernah juga bilang, ”Laki-laki itu jauh
lengkah. Jangan pikirkan wanita dulu”.
Artinya, laki-laki itu langkahnya jauh, kejar dulu cita-cita, jangan
terburu-buru untuk menikah. Ketika aku berpamitan untuk pergi ke Kalimantan,
ibu pun mendukungku. Aku cukup bersyukur bahwa aku ditinggalkan ibu dalam
keadaan diridhainya. Di akhir pertemuan kami, di tepi jalan raya saat menunggu
bis yang akan mengantarkanku ke Ciracas bulan September tahun 2015, aku masih
ingat betul ibu memelukku sambil mengucurkan air mata haru bahagia bahwa
anaknya bisa terus belajar, berkenalan dengan banyak orang, dan mencari
pengalaman hidup. Aku hanya bisa terdiam sambil mengusap-usap punggungnya.
Kalimantan mengajarkanku banyak hal: ketulusan manusia,
kebersamaan, kesederhanaan, kebahagiaan, kesedihan, pertemuan, perpisahan, merasa
bersyukur, dan banyak lagi. Banyak sekali dari mereka yang tidak bisa merasakan
fasilitas-fasilitas yang memadai. Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya
menjadi orang pedalaman begitu sejak lahir. Sedih rasanya saat menyebutkan
doraemon kepada anak-anak dan tidak ada yang mengenalnya. Perasaan ini semakin
mengharukan ketika mereka dalam keadaan serba terbatas tersebut memiliki
ketulusan hati. Mereka tidak mengenal aku sebelumnya. Aku bukan teman, saudara,
apa lagi keluarga buat mereka. Namun, ketika aku membutuhkan tempat tinggal,
kebutuhan sehari-hari, dan kehidupan sosial mereka dengan tulus memberikan apa
yang mereka miliki: makanan, tempat tinggal, waktu, tenaga, dan pikiran.
Aku
tidak butuh alasan lebih lagi untuk mencintai mereka. Aku menemukan cinta di
Kalimantan, cinta kepada keluarga, saudara setanah air, cinta kepada sesama
manusia.
Maka sebenarnya, menyenangkan almarhumah ibu agar harapan
terhadap anaknya tercapai menjadi alasan utamaku untuk melanjutkan jalan ini,
menuju Papua, memberi dan menerima, menguatkan cinta kepada mereka sebagai
saudara setanah air, sebagai sesama manusia. Ketiadaan ibu buatku menjadi
pemacu tersendiri untuk lebih keras lagi terhadap diri sendiri dan dunia ini. Barang
kali Kalimantan atau Papua memiliki rintangan, itu lah resiko yang akan dan
harus kuhadapi untuk menggapai menjadi manusia
seperi yang ibu doakan.
Dalam alasan lain, aku pernah menjawab pertanyaan seseorang.
“Kenapa kamu ikut program ke Papua ini?” katanya di sebuah rumah antik. Aku
cuma menjawab, “Jalan-jalan dan mencari.” Aku tahu, banyak teman-teman yang
lebih berhasil daripada aku sewaktu penempatan lokasi di Kalimantan. Aku sadar
belum banyak aksi yang kuperbuat dalam konteks pemberdayaan masyarakat banyak.
Namun, di luar itu ada hal-hal yang aku yakin sulit untuk diukur mengenai
pengalaman dan pembelajaran pribadi selama di desa pedalaman. Pengalaman dan
pembelajaran itu barang kali tidak bisa terlihat sebagai sesuatu yang kasat
mata, tetapi terasa sangat mendalam buatku. Hal itu yang masih ingin kucari dan
kudapatkan dengan “berjalan-jalan”, bertemu dengan orang-orang, menjalin hubungan
kekeluargaan dengan mereka, menerima dan memberi, serta menemukan makna dari
semua ini.
Aku masih mencari seberapa besar yang bisa kuberikan, aku
berutang pada mereka yang berada di pedalaman atas semua pendidikan dan ilmu
yang telah kuperoleh karena secara tak langsung ada hak mereka di diriku, maka
utang itu harus kubayar. Aku masih mencari untuk apa Tuhan menciptakan negara
seindah Indonesia. Aku masih mencari untuk apa Tuhan menciptakan
perbedaan-perbedaan. Aku masih mencari untuk apa kita saling mengenal. Aku
masih mencari untuk apa hidup ini.
Tuhan telah memberikanku akal dan hati. Meninggalnya ibu
bisa menjadi sebab keterpurukan atau justru kebangkitan diriku. Bekal akal dan
hati telah Tuhan berikan untuk menunjukkanku bahwa aku harus bangkit. Aku ingin
ibu di sana dalam keadaan terang benderang, lapang, melihatku berproses untuk
menjadi manusia. Aku yakin bahwa
suatu saat nanti, akan ada tempat aku dan ibu bisa berkumpul lagi. Di sana aku
ingin mengatakan padanya bahwa aku sudah lulus menjadi manusia.
No comments:
Post a Comment