Danau Sentani terbentang panjang dengan kesamaran awan-awan tipis dari atas pesawat. Foto oleh: Soni Mijaya
16 Juli 2016
Tadi malam aku tidak tidur setelah acara Pensi, malah
nongkrong di gazebo dan mengobrol dengan Bri, Judin, Citra, dan NK yang sedang
"minum". Jam setengah lima pagi aku sudah harus masukin barang-barang
ke bis, sarapan, upacara sebentar, lalu berangkat ke komplek perkantoran ESDM. Kami
upacara lagi bersama menteri di halaman perkantoran ESDM, kebetulan aku disuruh
baca doa ketika upacara. Sempat ada wartawan dari internal ESDM juga melakukan
wawancara padaku kenapa masih ingin ikut program begini.
Aku hanya punya sedikit waktu untuk memberikan kado dan mengobrol
empat mata dengannya. Aku ajak dia keluar dari keramaian, kuberikan kado kenang-kenangan
sebuah buku yang tadi malam sempat kusiapkan. Aku sampaikan padanya terima
kasih dan apa pun yang akan terjadi 1 tahun ke depan dia tetap orang yang
kukenal. Aku tidak minta tanggapan atau balasan apa pun darinya. Ia hanya
bilang merasa tidak enak karena tidak bisa memberi apa pun. Aku lalu pamitan.
Aku sudah sepakat dengan Judin. Aku dan dia punya
kepribadian yang mirip persis, hanya saja dia tipe extrovert sedangkan aku
introvertnya. Kami sepakat bahwa apa pun yg terjadi, sebagai orang Feeling kami
harus belajar menjalani apa adanya. Biar semuanya mengalir meskipun memang untuk
orang feeling sebuah peristiwa akan cukup lama melekat di perasaan. Namun, aku senang
kami sama-sama bersyukur karena melalui program patriot energi ini kami merasa bisa
mengenal tuhan lebih dekat secara spiritual. Itu yg kutanamkan dalam diriku
saat ini. Aku tidak bisa menahan perasaan, tapi apa pun hasilnya harus
kurelakan. Tuhan pasti ada maksud untuk semua ini.
Pukul 23.45 WIB aku brsama 16 orang tim Papua terbang dari
bandara Soetta menggunakan Batik Air menuju bandara Sentani, Papua.
17 Juli 2016
Sebelum landing di bandara Sentani Jayapura, aku kagum pada pemandangan
indah alam Papua. Ada danau yang luas, laut yang indah, lembah dan pegunungan
yang kokoh. Pemandangan di bandara pun seperti sangat lain karena sangat banyak
suku melanesia (orang asli Papua). Aku merasa seperti berada di benua Afrika.
Aku bersama 16 patriot lainnya dijemput dua mobil menuju
hotel Sabang Land milik saudaranya Eki GoPro. Kegiatan selanjutnya adalah hibernasi
panjang sebagai balasan terjaga di hari kemarin.
18 Juli 2016
Pagi hari kami menyewa 2 mobil dengan harga masing-masing Rp
700.000 untuk mengurus perizinan ke dinas-dinas provinsi. Lagi dan lagi aku
takjub dengan pemandangan sepanjang perjalanan. Ada danau, laut, pantai, gunung,
lembah, perkampungan di punggung-punggung gunung dan lembah, kukira ini seperti
Rio de janero di Brazil. Lebih indah lagi saat kami melakukan perizinan di
Kodam yang terletak di dataran tinggi. Alam Jayapura terbentang oleh gunung dan
lembah yang berbatasan dengan laut biru. Sempat juga kupotret burung Kasuari
yang dipelihara di komplek Kodam.
Aku dan kawan-kawan sempat mampir untuk minum kelapa muda di
dataran tinggi bernama Skyline. Kami duduk tepat di atas bukit yang langsung
menghadap laut. Syahdunya menikmati pemandangan pantai dan laut dari ketinggian
sambil melepas lelah. Foto terindahku sejauh ini salah satunya dari tempat ini
kupikir.
Kami pulang malam hari. Makan malam di warung pinggir jalan,
aku menyesal memesan ikan mujair yang ternyata harganya Rp 70.000. Kalau saja
aku tahu harganya tak sebanding dengan menunya, aku pesan ayam goreng saja yang
harganya setengah lebih hemat. Sebelum tidur, kami sempat membicarakan rencana
kegiatan esok hari.
19 Juli 2016
Hari ini aku dan teman-teman masih melanjutkan proses
perizinan. Kami kembali lagi ke Dinas ESDM Provinsi untuk menemui Kadis. Karena
beliau sakit, kami cukup bertemu dengan beberapa orang perwakilannya.
Sepanjang perjalanan, aku baru menyadari bahwa banyak
orang-orang berkendaraan mewah tetapi bukan orang Papua asli. Benar berita yang
pernah kudengar dulu bahwa orang Papua asli paling tinggi menjadi PNS sedangkan
kebanyakannya adalah miskin. Sepanjang jalan membentang, banyak kutemukan para
pedagang buah pinang dengan meja kumuh di pinggir jalan. Mereka semua adalah
orang Papua asli.
Betapa sedihnya menyaksikan kenyataan ini secara langsung.
Orang-orang pendatang berlalu lalang dengan kendaraan mewah dan pakaian bagus,
sedangkan banyak orang Papua asli berpakaian lusuh, kadang tak memakai sandal,
berjalan kaki di pinggiran jalan yang terik atau berjualan buah pinang yang
sepi pembeli.
Di tengah alam yang memesona, orang-orang asli Papua masih
termarjinalkan.
20 Juli 2016
Pagi hari kami moving sekaligus pindah tempat tinggal ke
rumah saudaranya Arya di Hamadi, Jayapura. Aku sempat mengobrol dengan supir
angkot yang disewa. Dia berasal dari Jawa Tengah. Menurutnya, hidup di Papua
ini harus hati-hati karena orang Papua asli sering bikin ulah. Dia sudah
beberapa kali ditipu dan tidak dibayar oleh orang Papua yang menyewa mobil
angkotnya. Namun, meskipun demikian ia mengatakan bahwa orang-orang Papua
adalah orang bodoh. Aku hanya mendengarkan, tidak untuk setuju atau tak setuju
dengannya. Yang kuamati pasti adalah ia sendiri masih mendiskriminasikan fisik
orang Papua asli.
Malam hari, baru aku bisa lebih mengenal keluarga orang
Papua asli. Mertua kakaknya Sisca mengajak kami makan malam di Hamadi
Atas/Gunung. Di sana, pemandangan bukit-bukit Jayapura yang dipenuhi lampu
pemukiman warga tampak sangat indah apa lagi terlihat juga air laut di
bawahnya. Aku dan kawan-kawan satu tim cukup lama mengobrol dengan keluarganya
Sisca. Menurutku mereka adalah orang-orang asli Papua yang baik dan berjiwa
sosial tinggi. Kupikir tdak bisa digeneralisasi juga bagaimana orang-orang
Papua. Yang pasti, setelah kulihat memang faktor pendidikan banyak memengaruhi
sikap dan perilaku orang Papua. Kupikir keluarganya Sisca tidak merokok dan
minum minuman keras karena faktor pendidikan juga. Jadi, untuk membangun
orang-orang Papua kukira harus berangkat dari pendidikan, tentu tidak hanya
pendidikan sekolah tetapi justru lebih dini yaitu pendidikan sejak dari
keluarga.
21 Juli 2016
Aku pergi menonton film Rudi Habibie di Mal Jayapura karena
kapan lagi kalau di desa bisa menonton bersama seperti ini. Filmnya diperankan
oleh Reza Rahadian dan Chelsea Islan, sangat berkarakter dan bagus. Film ini
kembali mengingatkan semangatku untuk lanjut kuliah lagi. Pengalaman unik
menonton di bioskop Jayapura hari ini adalah sempat mati lampu dua kali di
tengah-tengah berputarnya film. Walaupun film berlanjut lagi, tapi penonton
sempat kecewa.
Aku hampir saja putus asa karena barang belanjaan termasuk
HP androidku tertinggal di mobil angkot. Beruntung mobil angkot masih bisa
kudapati dengan sepeda motor milik keluarga tempat tinggalku, meskipun masih
mati lampu.
Malam ini malam yang asyik. Aku dan kawan-kawan diajak oleh
keluarga iparnya Sisca yang orang Jayapura makan malam (lagi) dengan menu
Papeda di rumahnya. Kemudian kami diajak Kak Petrus naik ke tempat yang lebih
tinggi lagi untuk melihat lampu-lampu seluas kota jayapura, gunung, lembah, dan
pelabuhannya. Indah!
22 Juli 2016
Setelah kemarin gagal, pagi ini aku dan Diza mencoba lagi ke
Grapari untuk mengubah kartu Telkomsel menjadi tipe 4G. Akhirnya kami berhasil
setelah menunggu satu setengah jam.
Sore hari aku, Aki, Eki, dan Diza jalan-jalan ke Pantai
Hamadi. Kasian, pantainya kotor sekali. Kami sempat foto-foto kreatif lalu
pulang.
Malam hari, Kak Petrus datang ke tempat kami tinggal
mengantarkan jaketku yang
tertinggal kemarin. Kami sempat mengobrol banyak
tentang lokasi penempatan. Ia banyak mengingatkan untuk selalu waspada terhadap
malaria, OPM, masyarakat, adat, budaya, dan penculikan.
23 Juli 2016
Kak Ajun, saudaranya Arya malam hari mengajak kami ke
pinggiran pantai Kupang (Kursi panjang), tempat orang-orang Jayapura nongkrong.
Pemandangan lampu-lampu rumah yang berada di dataran rendah dan bukit-bukit
sekitar Jayapura terlihat sangat indah.
24 Juli 2016
Hari ini kami satu tim diantar kak Jun dan temannya ke
kabupaten Keerom. Aku dan beberapa cowok naik di bak mobil pick up yang juga
mengangkut barang-barang bawaan satu tim. Perjalanan Jayapura - Keerom ditempuh
dalam waktu dua jam melintasi beberapa kampung, bukit yang menghadap laut, dan
tentu hutan di mana-mana.
25 Juli 2016
Pergerakan selanjutnya adalah perizinan ke Distamben
Kabupaten. Ternyata ada konflik internal di Distamben kabupaten. Salah satu
pegawainya bercerita bahwa konflik tersebut berkaitan dengan terpilihnya bupati
baru, ambisi baru, politik daerah. Tim Papua hanya mengikuti alur saja supaya
tidak tergiring masuk ke dalam perpolitikan tersebut.
Di Distamben kabupaten kami bertemu dengan kepala dinas dan
para pejabatnya. Setelah bercerita banyak dan saling berkenalan, aku baru
menyadari bahwa tak seorang pun dari pejabat Distamben tersebut merupakan suku
asli Papua. Kebanyakan dari mereka adalah suku asli Sulawesi.
Aku bersyukur mereka cukup peduli pada kehadiran kami. Kami
disediakan angkutan ke desa dan siap difasilitasi untuk dikenalkan kepada
kepala kampung penempatan kami masing-masing. Namun, mirip dengan cerita-cerita
seperti sebelumnya merek pun banyak sekali menceritakan rawannya masyarakat
suku asli Papua. Aku tidak mau langsung percaya pada mereka. Aku sendiri tidak
bisa menyalahkan pandangan mereka terhadap masyarakat Papua.
Malam hari aku ceritakan pada Anggun bahwa mungkin benar
mereka para pegawai Distamben punya banyak pengalaman survey ke segala penjuru
Papua, tetapi selama tidak live in dalam waktu yang lama pemahaman terhadap
keinginan atau kebutuhan masyarakat suku asli Papua pun kupikir masih parsial.
Maka dari itu, kupikir aku dan teman-teman punya kesempatan besar dengan live
in selama satu tahun bersama warga untuk mengerti secara betul kebutuhan dan
keinginan warga Papua. Yuk berjuang kawan-kawan!
27 Juli 2016
Hari ini, 6 orang dari tim diberangkatkan ke tiga desa.
Mereka adalah Arya & Anggun (desa Ampas), Upi & Septi (desa Kalifam),
Diza & Nana (desa Skofro). Agak tegang dan terharu melihat mereka dinaikkan
ke atas mobil 4WD dengan separo bak terbuka. Besok adalah giliranku.
28 Juli 2016
Pagi menjelang siang ini perjalananku dan Ria, partner satu
desaku berangkat dari Arso ke Desa Banda. Perjalanan ditempuh dengan mobil 4
WD, kecepatan maksimal kecuali di jalan-jalan dan jembatan rusak. Sepanjang
perjalanan, tampak beberapa waktu pemandangan sawit, sisanya adalah hutan lebat
yang rapat membentang di gunung dan lembah-lembah. Cuaca drastis berubah tak
menentu. Perjalanan dua jam mengalami cuaca panas, mendung, gerimis, sampai
hujan deras. Keadaan medan dan alam ini lebih berat daripada yang pernah
kurasakan saat menempuh perjalanan Malinau - Sebuku di Kaltara.
Tiba di desa Banda, aku hanya banyak-banyak mengucapkan
syukur. Alamnya sejuk, warga kampungnya adalah suku Papua asli yang ramah pula,
desanya tertata rapi, dan pembangunan PLTS ternyata sudah 70%. Aku dan Ria
dititipkan oleh Pak Daniel, kepala bidang Kelistrikan Distamben Keerom kepada
pengurus puskesmas untuk tinggal di rumah pegawai puskesmas yang ada di desa
Banda. Aku tinggal satu rumah dengan Heri, salah satu perawat di puskesmas,
keturunan Batak tapi sejak lahir tinggal di Arso. Ria tinggal satu rumah dengan
Kak Fero.
Sinyal sangat minim di sini. Sinyal telkomsel hanya ada
ketika HP ditempelkan ke jendela tertentu. Aku terkejut sekali saat
sekonyong-konyong ada dua orang datang menyambut HP mereka yang ditempel
ramai-ramai di jendela. Ternyata, mereka adalah tim Nusantara Sehat. Betapa
dunia ini masih hanya sedaun kelor. Ada lima orang dari Nusantara Sehat di
sini, yaitu Aim (Buton), Wulan (Riau), Emarsu (Medan), Leksi (Kupang), dan satu
lagi wanita yang masih di kampung halamannya, Makassar.
29 Juli 2016
Pagi hari aku ikut nimbrung bersama tiga orang warga Banda suku asli Papua di halaman Puskesmas.
Kuperkenalkan diri dan tujuanku ditempatkan selama satu tahun di desa ini.
Mereka termasuk orang yang cukup berwawasan sehingga tanpa kumulai mereka sudah
menceritakan bagaimana pentingnya pemeliharaan PLTS dan resiko-resikonya. Aku cukup
senang pagi itu. Sambil mengunyah pinang, mereka bercerita cukup panjang tentang
pengalaman bantuan-bantuan pemerintah yang pernah ada. Mereka sangat bersyukur
ada pendampingan Patriot Energi yang bertugas membantu masyarakat memelihara
PLTS.
Agak siang, aku dan Ria pergi menemui Pak Jonni May, kepala
kampung Banda. Aku cukup senang bahwa Pak Jonni menerima kedatangan kami dengan
senang hati. Dia pun bersyukur bahwa ada pendampingan untuk masyarakat tentang PLTS.
Sekitar 1 jam kami mengobrol. Dia berkeinginan agar masyarakatnya terus
berkembang dengan ilmu pengetahuan dan wawasan dari luar. Dia juga bercerita
bahwa banyak warga Papua New Guinea (PNG) yang sering masuk ke Banda dan bahkan
sebagian dari mereka sudah menjadi warga kampung Banda.
Kampung di PNG yang berbatasan dengan kampung Banda bernama
kampung Boda. Berdasarkan pengakuan Pak Jonny May, warga di Boda sangat kurang
diperhatikan oleh pemerintahnya. Maka dari itu banyak dari mereka pergi ke Indonesia.
Selain karena masih satu suku juga dengan warga kampung Banda, banyak dari
mereka juga yang bekerja di Keerom, mencari pengobatan di Puskesmas kampung
Banda, dan pemenuhan kebutuhan lainnya.
Siang hari, setelah selesai sholat Jumat yang hanya dihadiri
sekitar 10 orang, aku mampir
di pos Kopassus. Ternyata banyak dari mereka yang
dinasnya berlokasi di Taman (Gatot Subroto) Serang. Aku berkenalan dengan beberapa
anggotanya, yaitu Bang Wira (Danpos), Jaya, Salam, serta Ali dan Jefri yang
kemarin main kartu bersama teman-teman Nusantara Sehat. Aku bersyukur bisa
cepat akrab dengan mereka. Mereka juga baik, menawariku agar sering-sering main
ke pos, bisa charge hp dan nonton tv karena mereka punya beberapa modul surya,
bisa juga makan kapan pun di pos karena bahan makanan berlimpah.
30 Juli 2016
Pagi hari aku diajak Bang Ali untuk jalan-jalan ke kampung Pund
bersama Bang Salam. Di sana aku juga bertemu dengan Putty dan Isa. Lalu kami
main ke "bukit sinyal" untuk mencari sinyal sambil memperkenalkan
Putty dan Isa pada anggota pos.
Di bukit sinyal, ada semacam tempat duduk dengan atap rumbia
yang nyaman untuk bersantai. Sebelum yang lain tiba, aku sempat mengobrol lama
dengan Bang Salam di bukit sinyal. Lumayan kaget setelah tahu bahwa dia dulu
juga santri di Pesantren Suci Gresik sejak kelas 3 MI sampai lulus Aliyah. Kami
bernostalgia panjang tentang pesantren. Kebetulan aku dulu sempat tinggal di
Suci selama satu minggu mengikuti lomba. Bang Salam banyak bercerita bagaimana
nakalnya dia di pesantren, lulus, sampai akhirnya bisa masuk tentara dan
kopassus. Kebetulan dia pernah juga ke pesantrenku, Lirboyo karena mengikuti
lomba. Ah, lagi-lagi dunia terbukti sempit.
Dia bilang padaku bahwa dia menyesal dulu pernah nakal sekali.
Dia khawatir karena adiknya cantik dan sedang kuliah kedokteran di daerah yang jauh
dari orang tua. Orang tuanya memang asli dari Surabaya, tetapi sudah lama tinggal
di Makassar. Lalu dia coba telepon adiknya supaya kami bisa mengobrol, tetapi tak
terangkat. Tak lama kemudian teman-teman yang lain pun sampai.
31 Juli 2016
Hari ini aku, Ria, Heri pergi menuju patok perbatasan Papua
New Guinea yang ada di kampung Paitenda bersama-sama dengan Putty, Isa, dan
Bang Ali. Awalnya kami mengunjungi Putty dan Isa terlebih dulu di kampung Pund.
Dengan menggunakan tiga motor, kami pergi ke pos TNI yang ada di Kalifai. Setelah
mengobrol sebentar di pos, kami baru berangkat ke patok perbatasan. Sebenarnya
dari kampung Pund ke patok perbatasan Paitenda bisa melalui dua jalur. Jalur yang
paling dekat yaitu dengan menyeberangi sungai. Namun, salah satu motor dari
kami berenam tidak memungkinkan untuk menyeberangi sungai karena jenis matic.
Dengan mengambil jalur yang jauh, perjalanan ke patok perbatasan
Indonesia - PNG baik dari kampung Banda maupun Pund adalah sekitar 45 menit
perjalanan. Di perbatasan, ada sebuah patok dan plang bertuliskan Anda memasuki
kawasan Indonesia berbahasa Indonesia dan Inggris. Pulang dari patok
perbatasan, kami menghabiskan waktu sore di pos perbatasan Kalifai, berbincang-bincang
dengan para anggota Kopasus sambil makan pop mie. Hujan turun di bawah cahaya
matahari sore. Mungkin ada pelangi di sebuah tempat di sini.
Hari ini adalah hari pertama aku makan pinang dengan sirih
dan kapur. Pertama kali tiba di Papua, salah satu hal yang paling berkesan
buatku adalah kebiasaan orang Papua makan pinang dengan sirih dan kapur. Sebagai
penghargaan pada kearifan lokal dan usaha menyatu dengan adat Papua aku pun mencobanya.
Rasa pinang itu sendiri pahit, sirih buah berasa khas, dan kapur memberikan
sensasi panas di lidah. Awal kali merasakan makan pinang, aku masih bingung
kenapa orang Papua suka mengunyah ini. Barang kali bisa kutemukan setelah
kunyahan selanjut-lanjutnya.
1 Agustus 2016
Jam 09.30 aku pergi ke sekolah SD yang ada di dekat Kampung
Banda. Rupanya sekolah sedang memasuki jam istirahat. Baru saja aku menginjakkan
kaki di sekolah, banyak anak-anak dengan wajah cerah mendekati. Kuajak salah
satu dari mereka berkenalan sebelum kuhampiri seorang ibu guru. Setelah
menyalami ibu guru, aku masuk ke kantor sekolah. Di dalam kantor, aku berkenalan
dan mendapat banyak informasi dari bapak guru sekolah yang juga seorang pater
dan seorang guru yang bernama Hendrik.
SD ini merupakan SD swasta yang bernama SD Yayasan Pendidikan
dan Persekolahan Katolik (YPPK) Kenandega. Meskipun jaraknya hanya beberapa
ratus meter dari kampung Banda, tetapi secara administratif sekolah ini masuk
ke dalam kawasan kampung Kalifam padahal berjarak beberapa kilometer dari rumah
penduduknya. Jumlah siswa dari kelas 1 sampai 6 di sekolah ada 260 anak yang
berasal dari kampung Kalifam, Pund, Banda, dan beberapa warga Papua New Guinea.
Jumlah guru yang terdaftar ada 12 orang, tetapi yang sedang aktif dan hadir
hanya sejumlah 4 orang.
Dari para guru aku merasakan bahwa keadaan pendidikan di
perbatasan sini sangat terbatas pula. Sekolah sangat minim dalam banyak hal,
seperti tenaga pengajar, buku, bangku sekolah, listrik, dan perpustakaan. Di
antara hal yang sangat kusesalkan adalah sekolah mendapat bantuan alat
praktikum IPA yang menggunakan listrik sedangkan di sekolah tidak ada aliran
listrik. Selain itu, sekolah diminta menerapkan kurikulum 2013, tetapi Pemda
tidak memfasilitasi buku atau bahan ajarnya. Aku hanya geleng-geleng kepala.
Pak Hendrik bercerita bahwa ia tinggal di komplek rumah guru,
di seberang sekolah. Ada 4 sampai 5 buah rumah di komplek, tetapi hanya ia dan istrinya
yang tinggal di situ. Kondisi rumah guru itu cukup menyedihkan. Mereka hanya
dibekali satu modul surya yang maksimal hanya bisa mengalirkan listrik selama 3
jam sehari. Sebagai guru, ia tidak bisa maksimal dalam menyiapkan bahan ajar. Kalau
ada bahan ajar yang harus di-print, ia masih sering harus ke kota karena
minimnya listrik.
Aku berencana mengajak Ria, Putty, dan Isa sekalian membantu
di sekolah. Aku juga menyampaikan semoga selain membantu mengajar, kami juga
bisa membantu bersama-sama para guru membuat proposal pengajuan bantuan buku
dan fasilitas sekolah. Pak Hendrik bilang kalau aku mirip dengan salah satu
guru bantuan dari Pertamina Foundation pada tahun 2014, katanya orangnya mudah
akrab. Apapun itu, semoga semuanya dimudahkan. Amin.
Sore hari Putty dan Isa datang ke kampung Banda diantar
mobil pak dokter Roni yang kebetulan sedang berkunjung ke pustu-pustu.
Sebelumnya memang Putty juga sms aku, dengan bahasa "makasih mas Soni yang
menawan", kalau dia mau ke Banda tapi tak ada kendaraan. Kalau aku ada
kendaraan, Bang Ali dari pos juga siap menjemput. Sayang aku tertidur lama siang
sampai sore dan baru tahu sms itu sebelum maghrib. Syukurlah kebetulan pak dokter
Roni sedang berkunjung ke Banda dan Pund jadi mereka bisa nebeng. Setelah
mereka tiba di puskesmas, aku ceritakan pada Ria, Putty, dan Isa bagaimana
kondisi sekolah di dekat Banda. Besok lusa kami berencana ke sana.
Malam ini langit Banda sama seperti malam sebelumnya. Bintang-bintang
tumpah ruah. Aku duduk di teras, menikmati pemandangan ini. Seperti melihat
galaksi ruang angkasa yang terlihat gamblang di depan mata, satu per satu
bintang jatuh. Mungkin 5, mungkin 10 bintang itu kusaksikan luruh, ada yang
perlahan ada yang cepat. Meskipun kunikmati ini semua sendirian, tetapi di setiap
bintang yang berkorban itu kupanjatkan doa. Dan muncullah bayangan-bayangan
mereka yang pernah dalam suka dan duka mengisi hidupku.
2 Agustus 2016
Hari ini aku berkunjung ke PLTS bersama Ria, Putty, dan Isa.
Sayang, ketua tim kontraktor bernama Yanto belum juga kembali dari kota Jayapura.
Kabarnya ia sedang menyambut kedatangan bos kontraktor yang baru tiba di Papua
kemarin. Di lokasi PLTS aku berkenalan dengan pekerja kontraktor bernama Ridwan
dan beberapa warga lokal yang bekerja, yaitu Yopi, Feliks, dan satu orang lagi
yang terlupa namanya.
Setelah berbincang-bincang, kudapati bahwa Yopi adalah salah
satu warga lokal yang sudah terbuka wawasannya. Ia adalah perkerja bangunan
yang juga pemilik asal lahan PLTS berdiri. Ia mengatakan bahwa ilmu pengetahuan
sangat penting untuk kemajuan warga desa. Uang mungkin akan habis, tetapi ilmu
akan membantu kapan pun dan terbawa terus seumur hidup. Ia juga merelakan
lahannya untuk digunakan sebagai PLTS demi desanya. Aku senang sudah mendapakan
salah satu orang yang bisa dijadikan kandidat pengurus PLTS.
Saat perjalanan pulang dari PLTS, aku dan teman-teman seperti
biasa menyapa warga sekitar. Namun, ada yang cukup aneh saat kami menyapa seorang
warga lalu ia mengikuti kami. Aku mulai curiga kalau dia bukan orang yang
normal karena saat kutanyai jawabannya tak jelas. Ia mengikuti kami bahkan sampai
tiba di rumah puskesmas. Saat aku masuk ke dalam puskesmas yang kebetulan
sedang ramai oleh pegawai, mereka mengatakan kalau dia adalah orang gila. Mereka
menambahkan kalau kegilaannya disebabkan oleh seringnya menghisap ganja. Distrik
Waris memang cukup terkenal dengan ladang ganjanya. Ladang tersebut susah
dikenali karena katanya banyak terhampar di tengah-tengah hutan wilayah
perbatasan Indonesia - PNG. Sebagai akibat dari ganja tersebut, banyak warga
yang kehilangan akal warasnya. Seperti orang ini yang ternyata bernama Beni, ia
mengalami gangguan jiwa. Maka ia tak pergi-pergi dari pintu rumah kami sampai
salah seorang angggota NS (Nusantara Sehat) memberikan jeruk dan menyuruhnya pergi.
Aku merasa iba melihatnya, seorang manusia utuh, berpakaian tak jauh berbeda
dengan warga lainnya meskipun tak beralas kaki, tetapi punya gangguan kejiwaan.
Teman-teman puskesmas bilang kalau orang gila di sini disebabkan oleh konsumsi
ganja. Distrik Waris memang terkenal dengan ladang ganja.
3 Agustus 2016
Hari ini aku membawa Ria, Putty, dan Isa berkunjung ke SD
YPPK Kenandega. Kami disambut oleh kepala sekolah, bapak Emanue Sain yang juga
seorang Pastur asal NTT. Kami memperkenalkan diri serta menyampaikan maksud dan
tujuan kami berkunjung. Aku mengulangi beberapa hal yang kemarin sempat kusampaikan
pada Pak Hendrik saat kepala sekolah masih di Jayapura.
Pak Eman menyambut baik maksud kami. Ia menyampaikan banyak
hal terkait kondisi sekolah, siswa, dan keadaan minim lainnya yang menghambat pendidikan
SD di sini. Ia sempat mengatakan juga beberapa hal yang sama seperti pak Hendrik
katakan kemarin. Ia menambahkan bahwa keadaan siswa di sini sangat memprihatinkan.
Kemarin memang aku sudah tahu bahwa siswa yang sekolah di SD
ini berasal dari kampung Banda, Kalifam, dan Pund. Namun aku baru tahu dari Pak
Eman bahwa perjuangan yang dilakukan anak-anak untuk tiba di sekolah tidaklah
mudah, apa lagi yang berasal dari kampung yang jauh. Anak-anak dari Pund harus
menempuh jalur sungai dengan berjalan kaki. Tidak jarang juga anak-anak tiba di
sekolah dengan pakaian yang basah. Mereka harus melepas pakaian dan menjemurnya
di sekolah supaya tidak kedinginan. Kalau malam hari hujan deras turun, mereka
tidak bisa melalui sungai pagi harinya. Arus sungai setelah hujan akan menjadi
sangat deras dan berbahaya. Sering pula hujan menjadi alasan sebagian anak
tidak berangkat sekolah, meskipun ada beberapa anak yang semangat sekolah tak
menjadikannya alasan. Sempat aku bertanya pada Pak Eman mengapa tidak diusulkan
sarana transportasi untuk mengantar dan menjemput anak sekolah. Ia sendiri
belum terpikirkan ke arah sana. Terlebih lagi, dengan proposal kebutuhan
mendesak seperti kebutuhan guru dan buku saja tidak ada tanggapan dari Pemda
apa lagi mobil sekolah.
4 Agustus 2016
Seperti kemarin, pagi ini aku masak air untuk kopi dan masak nasi goreng. Tapi ada yang spesial hari ini. Aku rasa nasi goreng kornet pagi ini adalah masakan terbaik yang pernah kubuat selama ini. Ria sampai-sampai minta resepnya padaku setelah lahap menghabiskan satu piring padahal dia juga sudah masak di rumahnya. Aku bilang bahwa resepnya biasa saja, hehe.
Menjelang siang, aku dan Ria berkunjung lagi ke rumah bapak kepala kampung, Pak Joni May. Sebelumnya kami sempat berjalan sampai ujung jalan kampung yang berbatasan dengan PNG dan mengobrol dengan warga kampung. Jadi, berdasarkan cerita mereka warga di distrik Waris masih satu suku dengan warga PNG yang berbatasan dengan Indonesia, yaitu suku Walsa. Suku Walsa terdiri dari banyak marga, di antaranya adalah May, Ibe, Meho, Mou, dan Tuwo yang tersebar di Waris dan PNG perbatasan.
Setelah bertemu dengan pak Joni May, aku baru sadar kalau kami datang tidak pada waktu yang tepat. Jam menunjukkan pukul 11.30 WIT siang pada saat kami dipersilakan masuk ke rumahnya. Aku lihat pak Joni tidak sesemangat seperti kemarin. Ia bahkan sempat menguap. Sepertinya kami mengganggu jam istirahatnya. Lain kali kami akan datang sore hari saja.
Malam harinya aku, Wulan, Leksi, Heri, dan Meki (pacarnya Lina) duduk asyik main kartu bridge. Kami berkumpul dalam permainan bernama Sambung Tulang. Permainan ini menggunakan dua pack kartu bridge. Aku memelajarinya beberapa hari lalu saat beberapa anggota Kopassus main kartu bersama pegawai puskesmas. Permainan ini mengasyikkan seperti main remi, meskipun beberapa kali kupingku kena hukum jepitan jemuran. Kami main kartu dari jam 9 malam sampai jam setengah 2 pagi.
5 Agustus 2016
Hari ini adalah Jumatan kedua untukku dengan jumlah jamaah sekitar sepuluh orang, kebanyakan adalah anggota pos TNI dan Kopassus. Pagi hari malas rasanya untuk memasak. Aku sarapan kopi instan dan biskuit saja pagi ini. Beruntung mas Ruli masak nasi dan mie campur telur. Tinggal kutaburi abon sapi, lumayan lengkap sudah makan siangku. Sore hari ini aku jogging lagi. Aku agak ngeri melihat Lina, salah satu suster puskesmas yang sedang kena malaria Tersiana mix Tropica. Malam harinya ia padahal masih bercanda dengan kami di teras rumah. Sepertinya olahragaku harus rutin benar.
6 Agustus 2016
Beberapa hari ini asupan sayurku kurang karena stok sudah habis. Hari ini adalah hari Sabtu, salah satu hari jadwal adanya pasar sayur selain Senin dan Rabu. Seharusnya setelah sholat subuh aku langsung pergi ke pasar karena jam 5.30 saja biasanya jualan sudah habis. Tapi apa daya, hujan turun deras benar dan aku lebih memilih kembali ke kasur. Aku bangun lagi jam setengah 7 pagi setelah Wulan berisik di rumah. Kulihat hujan mulai reda, meskipun langit masih mendung gelap dan cuaca dingin sekali. Aku langsung pinjam motor Heri dan langsung menuju pasar di tikungan depan. Beruntung rasanya masih ada beberapa ikat daun singkong, pisang masak, dan ikan di pasar.
7 Agustus 2016
Saat tidur, aku masih merasakan mimpi. Seperti suara barang-barang yang dipukul keras, perlahan-lahan ia semakin mendekat. Semakin lama suaranya semakin keras dan gaduh. Dalam keadaan kaget aku terbangun, ternyata itu bukan mimpi. Kudengar ember, pintu, tempat sampah dan entah barang apa lagi yang ada di depan kamarku dihancurkan disertai suara cacian-cacian. Perasaanku jadi tidak nyaman. Kulihat jam masih menunjukkan pukul 04.00 WIT. Kudengar teriakan-teriakan cacian dan suara gesekan parang dengan lantai teras rumah. Aku diam saja, mengawasi cemas apa yang akan dilakukannya. Heri yang tidur satu kamar denganku menjauhi posisi tidurnya dari jendela. Aku pun cemas jika ia pecahkan kaca jendela. Sempat ia sebut-sebut pegawai puskesmas, TNI serta ancaman potong leher. Setengah jam lamanya ia membuat kegaduhan sampai akhirnya menghilang. Aku kembali tidur sambil berpikir, "Gila kalau orang sudah mabuk di sini. Bawaannya parang!"
Pagi hari ada hal yang tak terduga terjadi. Entah karena apa teman-teman Nusantara Sehat tidak seakrab biasanya. Aku pergi ke tempat mereka di rumah belakang. Mereka baru bilang kalau mereka merasa tersinggung sekali karena tadi pagi Putty dan Ria tertawa cekikikan di dapur mereka. Mereka kira kami menertawakan teman-teman NS yang tadi malam dijelek-jelekkan oleh si pemabuk. Aku langsung meminta maaf pada mereka dan akan bilang pada Putty dan Ria, meskipun aku kenal betul Putty dan Ria tidak mungkin sejahat itu.
Aku bertemu Putty dan Ria di rumah mereka, dua rumah di sebelah rumah tempatku tinggal. Benar seperti dugaanku, mereka bukan bermaksud menertawakan teman-teman NS. Mereka tertawa karena bercanda untuk melepas ketegangan setelah peristiwa semalam. Mereka jujur sangat ketakutan karena berkali-kali jendela dan pintu rumah mereka diteror oleh si pemabuk. Aku menjadi kasihan juga pada mereka. Aku kembali lagi kepada teman-teman NS dan menjelaskan yang sebenarnya terjadi. Teman-teman NS pun bisa mengerti.
Ada dua hal dari peristiwa ini yang menjadi pembelajaranku pribadi. Pertama, aku masih kurang peka untuk mengerti kondisi psikologis orang yang sedang down karena peristiwa tak terduga. Kedua, aku masih lemah dan belum bisa berpikir secara jernih betul saat dalam keadaan terteror, meskipun memang dalam menghadapi orang mabuk yang membawa parang lebih baik menghindar.
8 Agustus 2016
Siang ini, paman (Pak Mantri) Robi, yang kemarin mabuk, datang ke teras rumah tempatku tinggal dan mengobrol denganku, Heri, dan dua orang mantri lain. Dia mengatakan kenapa bisa membuat kegaduhan dan berkata bahwa TNI tidak bisa seenaknya masuk ke area puskesmas pada malam hari. Dia bilang itu semua karena ada masyarakat yang mengadu padanya. Masyarakat merasa tidak etis bila TNI masuk area puskesmas malam hari, main ke rumah-rumah dinas suster puskesmas. Aku hanya mendengarkan penjelasannya. Obrolan itu berlangsung sambil minum teh, tanpa ada emosi dan kengerian seperti saat dia mabuk.
Menjelang siang hari, tim Patriot Banda dan Pund berangkat
ke kampung Kalimo untuk memberi tahu Eka dan Dimas bahwa kita akan turun ke
kota pada tanggal 10. Rencana awal, kami akan tanggal 14 untuk menyusun dan
mengirim laporan. Namun, karena tanggal 17 Agustus kami harus menjadi panitia
di acara HUT Kemerdekaan maka kami merencanakan turun lebih awal.
No comments:
Post a Comment