Kalimantan
Awal tahun 2016, saya masih berada di bumi Kalimantan
tepatnya di Kabupaten Nunukan yang berbatasan dengan Malaysia. Nunukan merupakan
kabupaten yang terdiri dari Pulau Nunukan sendiri dengan beberapa kecamatan
yang tersebar di Pulau Sebatik dan Wilayah III, sebuah sebutan bagi kecamatan
Sebuku, Tulin Onsoi, Sembakung, Sembakung Atulai, Lumbis, Lumbis Ogong, dan
Krayan yang terletak di pulau besar Kalimantan. Saya dengan beberapa teman ditugaskan
atas nama Patriot Energi untuk memfasilitasi masyarakat merawat Pembangkit
Listrik Tenaga Surya yang dibangun di desa mereka.
Kalimantan sangat identik dengan sungai. Bila menerawang peta Kalimantan, kita bisa melihat dengan jelas begitu banyak garis-garis biru dari laut bebas menjalar masuk ke dalam sela-sela pulau Kalimantan. Hal ini membuat penduduk Kalimantan familiar dengan alat transportasi air, seperti ketinting (perahu kecil panjang dengan sebuah mesin diesel), speedboat dengan mesin PK 40 sampai PK 200, dan kapal berukuran besar.
Sebuah ketinting siap mengantarkan penumpang melalui sungai. Foto oleh: Soni Mijaya
Begitu pula dengan penduduk di Kabupaten Nunukan, masyarakat
yang didominasi oleh suku Dayak Tidung dan Bugis ini banyak memanfaatkan alat
transportasi air untuk kegiatan sehari-harinya. Untuk mencari ikan atau udang,
masyarakat nelayan menggunakan ketinting. Saat hendak bepergian ke pulau lain
mereka menggunakan speedboat, layaknya penduduk di Pulau Jawa menggunakan bis
ketika hendak bepergian ke luar kota. Adapun untuk mendistribusikan kebutuhan
bahan pokok sembako, minyak tanah, dan bensin ke beberapa titik di Nunukan
penduduk menggunakan kapal besar.
Banyak desa di Wilayah III Kabupaten Nunukan belum
memperoleh fasilitas listrik. Saat saya ditugaskan di Desa Pembeliangan,
Kecamatan Sebuku, beberapa warga melaporkan bahwa banyak desa yang berada di
kecamatan Krayan dan Lumbis Ogong yang sama sekali belum terdapat aliran
listrik. Setelah saya tanya lebih lanjut, ternyata desa-desa tersebut terletak
di wilayah yang cukup dalam dan belum terdapat akses jalur darat. Masyarakat
sendiri kesulitan untuk bisa bepergian ke sana.
Salah seorang teman yang bertugas di desa Sumentobol,
kecamatan Lumbis Ogong melaporkan bahwa beberapa desa di sekitarnya masih gelap
gulita. Lumbis Ogong merupakan kecamatan di Wilayah III yang tidak memiliki
akses darat sehingga hanya bisa dicapai melalui sungai dengan aliran jeram yang
deras. Saya bertanya padanya bagaimana pengiriman bahan-bahan konstruksi PLTS
bisa sampai di sana. Dia mengatakan sangat sulit karena berton-ton berat total
tiang listrik, gulungan kabel, baterai, modul surya, semen, baja ringan, dan
komponen lainnya harus diangkut dengan kapal yang sering tersendat-sendat
ketika sungai dangkal dan bertemu jeram deras.
Hambatan tidak sampai di situ saja, saat tiba di pelabuhan
desanya barang-barang tersebut harus diangkut secara manual per orang. Sebuah
baterai dengan bobot 70 kg diangkut warga dengan berjalan kaki mendaki bukit
terjal dan licin begitu pula dengan komponen PLTS lainnya. Pembangunan yang
dijadwalkan selesai dalam waktu tiga bulan harus memakan waktu sekitar lima
bulan.
Motor dan barang-barang berukuran berat biasa diangkut ke perahu untuk dibawa mengarungi sungai
Saya jadi berpikir, barang kali hal ini yang menjadi salah
satu sebab pembangunan di Indonesia tidak merata dan tidak efisien. Saat
pembangunan digalakkan dari desa di wilayah terluar seperti Kabupaten Nunukan,
sebaiknya pembangunan akses jalan dilakukan terlebih dahulu. Bila akses jalan
sudah dibangun sebaik mungkin, pembangunan dalam asek lainnya seperti listrik
bisa dilakukan dengan mudah. Selama ini, jalan yang sudah terbentang di Wilayah
III kabupaten Nunukan merupakan jalan bekas pembukaan lahan perkebunan oleh
perusahaan. Jalan-jalan tersebut cukup memprihatinkan. Truk-truk roda sepuluh
pengangkut sawit dan kayu setiap hari berlalu lalang. Jalan yang diperbaiki
lalu rusak kembali dalam tempo yang singkat.
Hambatan tidak adanya akses jalan ini sepenuhnya merupakan
hambatan fisik, hambatan yang tampak nyata dan kebutuhannya konkret. Bila
berbicara pembangunan desa secara keseluruhan, maka tantangan lebih banyak
terdapat pada kesiapan SDM masyarakat desa. SDM masyarakat desa di wilayah
perbatasan Kabupaten Nunukan – Malaysia sebetulnya sudah lumayan terdidik
dengan baik. Di sana sudah ada pendidikan dari SD sampai dengan SMA. Sebagian
pemudanya juga sudah mengecap pendidikan perguruan tinggi di kota besar seperti
Samarinda dan Balikpapan. Namun demikian, pendidikan itu lantas menjadi koreksi
tersendiri. Banyak pemuda bertaraf pendidikan SMA di Nunukan lebih memilih
bekerja di Malaysia dengan gaji yang menjanjikan. Adapun yang berpendidikan
tinggi banyak yang enggan kembali ke desanya karena sudah merasa nyaman hidup
dan bekerja di kota besar.
Tugu yang menjadi saksi pembangunan wilayah perbatasan RI - Malaysia
Tampaknya, pemerintah baik pusat maupun daerah memiliki
tugas rumah yang cukup besar. Saya tidak tahu apakah mereka pernah melewati
bukit tertinggi yang ada di Pulau Sebatik ataukah tidak. Pulau Sebatik
merupakan pulau yang terbagi dua bagian, sebagian milik Indonesai sebagian lain
milik Malaysia. Di Pulau Sebatik jalan berliku-liku dan naik turun cukup
terjal. Ada sebuah bukit tinggi yang bisa dilalui kendaraan roda empat. Saat
saya melintasi bukit tersebut di malam hari - akses jalan di Pulau Sebatik
sudah lebih baik daripada di Wilayah III - tampak pemandangan dua bagian
negara, Indonesia dengan pemandangan Kabupaten Nunukan dan Malaysia dengan
pemandangan Kota Tawau. Saya hanya bisa bersedih dan meratap, betapa di sisi
negara tetangga tampak telah terang benderang dengan tatakota yang rapi
sedangkan di sisi lain di bumi pertiwi yang tampak hanya gelap gulita. Sejak
saat itu saya sebut bukit ini dengan nama Bukit Ratapan Negeri.
Papua
Pemandangan danau Sentani dari bukit Mac Arthur, Sentani, Jayapura. Foto oleh: Soni Mijaya
Negara kita adalah negara yang kaya raya akan sumber daya
alam. Di sebelah utara Indonesia berhimpitan dengan Malaysia sedangkan di
sebelah timur berhimpitan dengan Papua New Guinea (PNG). Berbicara tentang
perbatasan bagian timur, wilayah ini jarang sekali disoroti media. Seringnya
media hanya menggembar-gemborkan tentang kondisi Papua, perang-perang suku, dan
wisata alam di Papua – ini juga baru beberapa tahun belakangan saja sejak
terkenalnya Raja Ampat.
Bulan Juli saya bersama dengan belasan teman mendarat di
tanah Papua, masih dalam misi tugas yang sama seperti sebelumnya. Butuh waktu
penantian hidup selama 25 tahun bagi saya agar bisa menjejakkan kaki di sini
untuk pertama kalinya. Tiba di bandara Sentani, saya mengibaratkan diri sebagai
orang yang baru tiba di sebuah negara asing. Ketika melihat sekeliling, saya
melihat banyak sekali orang kulit hitam berrambut keriting, tentu selain
teman-teman dan pelancong lainnya. Keberadaan saya sebagai suku Sunda di
tengah-tengah mereka suku Papua membuat saya menyadari bahwa saya minoritas.
Keadaan ini barang kali merupakan sebuah shock
therapy paling hebat saat pertama kali tiba di Papua.
Dalam benak saya sebelum tinggal di Papua – sebagai korban
media korporasi yang penuh sajian bernuansa politis dan kurang mendidik, tanah
cenderawasih ini merupakan gudangnya konflik suku, disintegrasi bangsa, dan
isu-isu SARA. Maka, benak itu dengan sendirinya membuat saya sedikit khawatir
dan takut melihat begitu banyak orang-orang suku Papua di sekeliling saya. Saya
khawatir semua yang disebarkan media itu terjadi pada diri saya. Ternyata quote dalam film Man of Steel benar juga
adanya, “Manusia takut terhadap apa yang mereka tidak pahami.” Lima bulan
tinggal di pedalaman Papua membuat saya mengerti bahwa ketakutan dan
gembar-gembor media itu keliru.
Di Papua saya tinggal dan bertugas di desa (di Papua lazim
disebut kampung) Banda, Kecamatan (distrik) Waris, kabupaten Keerom. Desa Banda
merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan negara PNG, hanya
setengah jam dengan berjalan kaki. Para penduduk di kampung Banda merupakan
suku Walsa bermarga May. Dengan jumlah kepala keluarga sekitar 120, warga
kampung Banda baru teraliri listrik pada tahun ini.
Perjalanan menuju kampung Banda bisa ditempuh melalui jalur
darat. Perjalanan dari Jayapura memakan waktu sekitar 4 jam dengan kendaraan
roda empat. Namun, medan yang ditempuh cukup berat sehingga pengunjung lebih
baik menggunakan mobil 4 WD atau dobule
gardan. Jalan menuju distrik Waris mudah sekali longsor karena struktur
lapisan tanahnya cukup labil dan secara geografis merupakan lereng-lereng
gunung. Orang Papua biasa menyebut pergi ke daerah Waris dan seterusnya sebagai
perjalanan naik gunung karena semakin ke selatan (dari Jayapura) dataran
cenderung semakin meninggi, kecuali sudah tiba di wilayah Merauke yang berada
di wilayah Papua paling selatan.
Distrik Waris berada di lintas
jalan Trans Papua, jalan yang mencoba menghubungkan wilayah Papua bagian utara
sampai selatan. Kedudukan kampung Banda cukup terisolasi karena tidak seperti
kampung lainnya yang terletak tepat di pinggiran jalan Trans Papua, kampung
Banda terletak menjorok ke dalam (dengan kondisi jalan yang buruk) sekitar 3 km
dari poros jalan tersebut. Namun demikian, masyarakat di kampung Banda sudah
cukup terbuka wawasannya karena dahulu kampung ini merupakan pusat distrik
Waris. Puskesmas, Koramil, dan kantor Polsek juga masih berdiri di kampung
Banda sampai saat ini sebagai bukti sisa pusat distrik/kecamatan. Sebagian
(meskipun sangat sedikit) warga Banda juga ada yang sudah mengenyam pendidikan
tinggi dan pandai berbahasa Inggris.
Yang unik dari perbatasan Indonesia – PNG di kampung Banda
dan sekitarnya adalah masyarakat masih cukup abai dengan garis batas negara.
Bagi mereka, garis batas tersebut hanyalah simbol. Warga Banda setiap hari
merasa biasa saja melintasi perbatasan negara pergi ke PNG untuk berbagai
keperluan, tanpa passport tanpa surat izin apa pun, begitu pun sebaliknya
banyak warga PNG yang masuk ke Indonesia melalui kampung Banda. Hal ini
dikarenakan hubungan kekerabatan antara kampung Banda dengan kampung Boda
(kampung di PNG yang berbatasan dengan Indonesia) masih erat. Masyarakat di kedua
kampung tersebut merupakan suku Walsa dan marga May. Banyak anggota keluarga dari
masyarakat kampung Banda merupakan warga PNG dan perjalanan setengah jam
membuat mereka bisa berinteraksi sehari-hari.
Maka, di distrik Waris dan sekitarnya adalah pemandangan
yang biasa bagi saya menyaksikan beberapa warga PNG berlalu-lalang, ada yang
sekolah, bekerja, ataupun berjualan di Indonesia. Ciri dari warga PNG adalah
mereka memiliki tanda di dahinya. Bahasa yang biasa mereka gunakan adalah
bahasa Pidgin dan Inggris slank. Saya
pernah berbicara dengan beberapa dari mereka. Ketika saya tanya tanggapan
mereka mengenai pembangunan Papua, mereka mengatakan bahwa pembangunan di
wilayah perbatasan Indonesia masih jauh lebih baik daripada wilayah perbatasan
negara PNG. Di Papua, pendidikan dan pengobatan diberlakukan secara gratis
sebagai kebijakan otonomi khusus. Di PNG bagian perbatasan, masyarakat masih
terabaikan. Oleh karena itu, banyak masyarakat PNG pergi ke Indonesia untuk
sekolah dan berobat.
Keadaan masyarakat suku Walsa di kampung Banda, Papua. Foto oleh: Soni Mijaya
Lima bulan tinggal di kampung Banda dan bergaul dengan
masyarakat di sana membuat saya sedikit banyak paham mengenai Papua. Mungkin
kampung Banda bukan sebuah sampel yang sempurna untuk bahan analisis tentang Papua, tetapi paling
tidak banyak gambaran utuh mengenai masyarakat Papua yang saya peroleh di sana.
Kondisi masyarakat di kampung Banda dengan telanjang memperlihatkan pada saya
sebuah problematika yang kompleks tentang Papua. Mari kita kupas satu per satu.
Pendidikan dan Agama
Di kampung Banda, penduduk asli 100% beragama Katolik.
Sebuah gereja paroki berdiri di sana dengan seorang pastur yang ditugaskan dari
Nusa Tenggara Timur (NTT) bernama Daniel. Pastur Daniel tidak tinggal sendiri.
Ia tinggal bersama seorang pastur juga bernama Emanuel yang ditugaskan Paroki
untuk memimpin sekolah dasar bernama SD YPPK (Yayasan Pendidikan dan Pengajaran
Katolik) Kenandega. Kenandega merupakan nama sebuah daerah di kampung Banda
yang berbatasan dengan kampung Kalifam.
SD YPPK Kenandega adalah sekolah swasta yang merupakan
satu-satunya satuan pendidikan di kampung Banda. Murid-muridnya berasal dari
kampung Kalifam, Pund, Kalipai, Kalibom, dan Papua New Guinea. Tidak ada satuan
pendidikan negeri baik SD, SMP, maupun SMA di Banda. Sekolah negeri yang paling
dekat hanya ada di pinggir jalan Trans Papua di dusun Kalibom, kampung Kalifam,
sekitar 5 km dari Banda. Setiap hari, anak-anak sekolah berangkat ke sekolah
dengan berjalan kaki, sebagian menyusuri jalan yang buruk sejauh 5 km, sebagian
menyusuri sungai yang deras. Bila malam atau pagi hari hujan deras, maka
sebagian besar murid tidak akan berangkat ke sekolah karena akses yang buruk
tersebut.
Sistem pendidikan di SD YPPK Kenandega sudah cukup baik
karena mengikuti sistem yang diterapkan yayasan Katolik pusat. Setiap pagi
sebelum masuk ke kelas, para siswa berbaris untuk mendapatkan pengarahan dari
kepala sekolah dan berdoa bersama. Pengarahan biasanya disampaikan kepala
sekolah untuk menghukum para siswa yang absen sekolah di hari sebelumnya, tidak
ibadah hari Minggu di gereja, atau tidak mengikuti kegiatan tertentu yang sudah
dijadwalkan. Hukuman yang diberikan oleh sekolah biasanya adalah anak-anak
harus mengambil batu kali ke sekolah. Batu-batu yang bertumpuk saat ini sudah
cukup banyak. Kepala sekolah menjelaskan pada saya bahwa batu-batu tersebut
suatu saat bisa berguna untuk pembangunan sekolah.
Siswa-siswi SD YPPK Kenandega melakukan doa bersama sebelum masuk ke kelas. Foto oleh: Soni Mijaya
Kepala sekolah mengatakan bahwa anak-anak SD YPPK Kenandega
memang cukup sulit diatur dalam pendidikan. Nasihat dan hukuman bahkan sudah
sering diberikan, tetapi mereka tetap mengulangi kesalahan yang sama. Paling
umum kesalahan mereka adalah malas berangkat sekolah. Pihak sekolah padahal
sudah sering melakukan koordinasi dengan para orang tua siswa untuk bersinergi
dalam pendidikan anak-anak. Namun, orang tua mereka juga mengakui bahwa
anak-anak sulit diatur dan sering dijuluki kepala batu. Barang kali baru di
sekolah ini saya sering mendengarkan julukan kepala batu diberikan pada murid.
Menurut saya, hadirnya organisasi Katolik untuk bertugas
dalam pendidikan dan agama di kampung Banda sangat membantu bagi masyarakat
perbatasan. Namun demikian, fasilitas yang mereka miliki masih cukup minim.
Sekolah belum teraliri listrik. Para guru dan petugas sekolah harus pergi ke
Arso, pusat kabupaten Keerom, selama 2 jam perjalanan untuk mencetak dan
mengopi lembaran soal dan materi pelajaran. Selain itu, tenaga pengajar yang
ada di sekolah masih kurang baik secara kuantitasa maupun kualitas. Kepala
sekolah mengatakan bahwa ada sepuluh kelas di SD YPPK Kenandega dan hanya ada
delapa guru yang aktif. Dari delapan guru tersebut, sebagiannya hanyalah
lulusan SMA.
Para siswa harus melalui sungai tanpa jembatan untuk sampai di sekolah. Foto oleh: Soni Mijaya
Dalam hal ini, sayang sekali peran pemerintah daerah maupun
pusat masih minim. Banyak sekali tugas rumah untuk memajukan pendidikan di
Papua. Hambatan lagi-lagi terletak pada akses (jalan), sumber daya manusia, dan
fasilitas pendidikan. Bila menilik kemajuan yang dicapai di era sekarang bisa
diselesaikan melalui pendidikan, maka sebaiknya pendidikan menjadi perhatian
prioritas untuk pembangunan di Papua.
Sosial Masyarakat
Seorang petugas di Koramil suatu ketika pernah berkata
secara berkelakar pada saya. Dia mengatakan, “Tuhan menakdirkan tiga al- di
dunia ini. Pertama Almarhum karena setiap manusia yang hidup pasti meninggal.
Kedua adalah Al-Quran. Ketiga adalah Al-kitab (injil). Tapi, khusus di Papua
Tuhan menurunkan satu lagi al- yaitu Al-kohol.”
Saya kira ucapan bapak Koramil tadi ada benarnya. Lima bulan
tinggal di Papua, saya sering melihat warga yang suka mabuk. Biasanya mereka
mabuk setelah mendapatkan uang banyak, baik dari bekerja atau pun palang (memalak). Minimnya wawasan untuk
menabung bagi masyarakat Papua membuat mereka boros secara ekonomi. Ketika
mereka memiliki uang, mereka akan membelanjakannya dan menghabiskannya saat itu
juga, baik sesuai kebutuhan atau pun tidak. Tampaknya budaya menghabiskan uang
seketika ini telah merambah baik pada anak-anak atau pun orang tua. Saya sering
melihat warga, baik anak kecil maupun orang tua, awalnya hendak membeli
kebutuhan tertentu saja di kios tetapi kemudian menghabiskan seluruh kembalian
uang tersebut untuk membeli barang-barang lainnya.
Patok perbatasan RI - Papua New Guinea di kampung Banda, kabupaten Keerom, Papua
Bagi kaum lelaki, kebiasaan menghabiskan uang ini dampaknya
cukup buruk. Mereka yang suka mabuk akan menghabiskan uang gaji pada suatu
malam untuk mabuk-mabukan. Mabuk alkohol di Papua berbeda dengan tempat lain
seperti NTT atau pun Maluku. Pasalnya, orang mabuk di NTT dan Maluku akan
terkapar dan tidur saat mencapai puncak mabuk. Warga yang mabuk di Papua sering
membuat kegaduhan. Saya menyaksikan sendiri seorang warga yang mabuk tengah
malam membawa parang sambil berteriak-teriak teror.
Kebiasaan buruk lain yang sudah membudaya di Papua adalah palang (memalak). Tidak berbeda dengan
memalak pada umumnya, palang
merupakan kegiatan meminta secara paksa atau memeras orang lain agar diberi
uang. Di sepanjang jalan Trans Papua terdapat banyak kampung dan hampir di
setiap kampung tersebut mengadakan palang bagi truk-truk yang lewat. Hal ini
ternyata ditiru oleh generasi muda Papua. Saya beberapa kali pernah melihat
para siswa SMA memberhentikan truk di jalan raya untuk meminta uang.
Hal yang paling miris untuk disaksikan adalah pemandangan
warga Papua asli yang tidak menjadi tuan di tanah mereka sendiri. Di sepanjang
jalan pusat kota Jayapura, saya menyaksikan orang-orang asli Papua berjualan
secara emperan di pinggiran trotoar.
Mereka berjualan pinang, sirih, kapur, noken, dan sayur-mayur. Saya melihat
kota Jayapura seperti sebuah kota di Jawa yang dipindahkan ke Papua. Deretan
toko, rumah makan, pengendara mobil, dan sepeda motor kebanyakan dimiliki oleh
orang pendatang. Warga Papua asli hanya menyaksikan itu semua sambil berjalan
dengan kaki telanjang, mengunyah sirih pinang, dan membawa tas noken. Hanya sebagian kecil saja warga
Papua asli yang beruntung menjadi pegawai negeri sipil atau pengusaha.
Salah seorang tokoh adat di kampung Banda dalam acara adat dansa wama. Foto oleh Soni Mijaya
Problem di Papua memang sangat kompleks sejak dari aspek
pendidikan, ekonomi, sosial, sampai budaya. Namun, hal tersebut menurut saya
bukan tidak bisa diselesaikan. Kembali lagi ke kampung Banda, di sana saya
banyak berbicara dengan kepala kampung dan para tokoh masyarakat setempat.
Mereka merupakan suku asli Papua yang sudah terbuka wawasannya. Saat saya
bertemu dengan Pak Joni May, bapak kepala kampung Banda, ia merasa bersyukur
akhirnya listrik bisa masuk ke Banda. Ia sangat mengharapkan listrik bisa
dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh warga, khususnya anak-anak bisa belajar di
malam hari.
Namun, di sisi lain ia lebih banyak berbincang tentang
Papua. Selama ini, ia merasa sedih karena Papua di mata media dan masyarakat
ibukota selalu identik dengan kekerasan dan disintegrasi bangsa. Ia menekankan
sekali pada saya bahwa hal tersebut hanya terjadi di wilayah tertentu saja,
tidak semua Papua. Ia tekankan bahwa warga Papua, khususnya di kampung Banda
dan sekitarnya, merupakan bangsa Indonesia yang cinta tanah air dan menghindari
kekerasan. Hal yang senada juga disampaikan oleh Pak Jack May, salah seorang
tokoh masyarakat di kampung Banda.
Bapak Joni May dan Jack May adalah dua orang yang lama
merantau di luar Papua. Mereka pernah mengenyam pendidikan di Jawa, tinggal
lama di Sulawesi, dan bahkan ada yang pernah pergi ke Singapura dan Jepang
untuk even kebudayaan. Perantauan tersebut menurut saya yang berpengaruh besar
bagi keterbukaan wawasan mereka. Selain mencoba mengklarifikasi hal yang
menurut mereka keliru tentang pandangan orang-orang terhadap Papua, mereka juga
memiliki pandangan yang luas tentang pembangunan kampung, pelestarian adat
istiadat suku Walsa, dan pendidikan di kampung Banda.
Maka menurut saya, pendidikan dari luar Papua bisa dijadikan
model untuk membuka cakrawala wawasan warga Papua. Pendidikan dari luar Papua
tersebut bisa dimaknai luas. Generasi masyarakat Papua bisa memperolehnya
melalui perantauan ke luar Papua atau pun melalui hadirnya external activator bidang pendidikan di Papua. Mungkin
masalah-masalah di Papua tidak bisa diselesaikan oleh generasi masyarakat Papua
saat ini, tetapi melalui pendidikan perlahan-lahan generasi pengganti bisa
mengisi kekuangan-kekurangan leluhur mereka di masa yang akan datang.
Potensi dan Tantangan
Kondisi masyarakat perbatasan Indonesia – Malaysia masih
lebih baik daripada kondisi perbatasan di Indonesia – PNG. Masyarakat
Kalimantan sudah lumayan maju dari segi pendidikan daripada Papua, meskipun
keduanya tetap memiliki masalah di bidang SDM. Pertanian sebetulnya selalu
menjadi sebuah potensi besar bagi kedua wilayah. Sementara ini, mainset
masyarakat terhadap pertanian masih konvensional. Selain itu, minimnya wawasan
keilmuan pertanian hanya memberikan produktivitas yang rendah. Seandainya
masyarakat memperoleh keilmuan pertanian yang baik sejak dari pengolahan lahan
hingga pengolahan pascapanen, maka bukan mustahil produktivitas yang tinggi
bisa menjadikan kedua wilayah tersebut untuk swasembada.
Di sisi lain, lagi-lagi masalah yang hadir ialah masyarakat
butuh pasar. Produktivitas tinggi tidak ada artinya jika hasil-hasil pertanian
tidak memperoleh pasar yang menjanjikan. Maka dari itu, masyarakat di
Kalimantan contohnya lebih condong memilih kelapa sawit karena perusahaan
langsung mendatangi kebun mereka untuk menukarnya dengan uang. Dalam hal ini,
jika pemerintah melalui kementerian pertanian mampu membuat terobosan baru
untuk pendistribusian produk hasil pertanian secara baik, maka pemerataan produk
pertanian dan kesejahteraan bisa dicapai.
Kemandirian lokal bisa dicapai dengan menerapkan kemandirian
itu sendiri sejak dalam pikiran. Masyarakat terlanjur bergantung dan kecanduan dengan produk-produk luar, baik
sebagai kebutuhan primer maupun tambahan. Sebagai contoh, untuk makan nasi
masyarakat lebih memilih membeli beras dari luar daripada berusaha untuk
menanam padi sendiri padahal lahan yang mereka miliki cukup luas.
Khusus untuk wilayah Papua, masyarakat saat ini lebih
memilih makan nasi daripada pappeda. Hal ini berpengaruh pada besarnya permintaan
beras dari luar karena mereka tidak menanam padi sendiri. Keadaan ini cukup
memprihatinkan karena warga akhirnya tidak lagi ramai menanam pohon sagu. Untuk
lauk pauk, banyak warga Kalimantan masih membeli sarden di tengah-tengah
wilayah yang kaya hasil ikan sungainya. Pernah suatu ketika di Kalimantan saya pergi
memancing dengan warga. Ternyata sekitar dua jam duduk di dermaga sungai bisa
mendapatkan sejumlah ekor ikan yang bisa dikonsumsi untuk satu keluarga selama
satu hari. Barang kali kedaulatan pangan memang harus ditumbuhsuburkan sejak
dari kebudayaan masyarakat setempat agar mereka berupaya memanfaatkan potensi
yang sebenarnya melimpah ruah.
No comments:
Post a Comment