Thursday 13 November 2014

Senandung Beduk Kampung Ambuleuit

Senandung Beduk Kampung Ambuleuit

            Sudah sebelas tahun lamanya aku tidak bertemu dengan Embah Pendi. Ah, bahkan sejak aku masih memanggilnya dengan sebutan Pak Pendi karena dulu belum begitu tua umurnya. Dia sudah seperti guruku sendiri meski aku tak belajar mengaji atau membaca darinya. Dia bukan kiai, ustadz, atau guru sekolah. Dia hanya orang biasa yang lihai membuat dan memainkan beduk.
Waktu kecil sering aku main di rumahnya, belajar tentang memainkan beduk, mendengarnya olah tarik suara bebeluk, dan melihat pemuda-pemuda minta dibersihkan tenggorokannya dengan cara gurah agar punya suara yang bagus.
Rumahnya tidak jauh dari rumahku, hanya terpisahkan beberapa rumah dan kebun di kampung Ambuleuit, kota kelahiranku Pandeglang. Saat aku  berkunjung, dia sedang duduk bersila di balai-balai depan rumahnya. “Kau?” serunya.
“Iya, Mbah.” Kucium tangannya. Garis-garis keriput dan kumis yang separo beruban di wajahnya menegaskanku bahwa dia sudah menjadi seorang embah.
Diajaknya aku masuk ke dalam rumah. Rumahnya masih seperti dulu. Dindingnya terbuat dari bilik bambu. Lantainya masih telanjang, tak ada keramik atau semen yang menutupi. Kursi, meja, dan perabot lainnya sebagian besar terbuat dari kayu. Tidak ada yang berubah selama ini bagiku, hanya terasa lebih sepi ketimbang dulu. Kabar yang kudengar di perantauan memang semua anaknya sudah berkeluarga dan tak ada yang tinggal di sini. Mungkin hanya lebaran waktu semua anggota keluarga berkumpul.
“Sekarang sepi ya, Mbah?” Tanyaku, memancing pembicaraan.
“Ya, tidak seperti dulu. Anak-anak sekarang sudah dewasa, sudah bisa menentukan nasib sendiri. Mereka bekerja di kota lalu menikah dan punya keluarga. Hanya aku dengan istri yang tinggal di sini.” Wajahnya terlihat sendu.
Betapa dulu aku masih ingat ramainya rumah ini. Anak-anak Embah Pendi hanya satu dan dua tahun lebih tua dariku. Aku sering main di sini bersama mereka. Apa lagi ketika tiba bulan puasa seperti ini. Di halaman rumah, Embah Pendi dan para pemuda memainkan beduk tiap sore sampai menjelang magrib. Dia menabuh tiga beduk kecil dengan bunyi berbeda dan para pemuda menabuh beduk besar yang berderet berdampingan. Kadang dia mengiringi rampak beduk itu dengan bebeluk keras-keras. Orang-orang ramai menonton. Aku dan anak-anak kecil lainnya berlarian lalu lalang di antara beduk-beduk sambil membawa ranting-ranting pohon. Kadang kami mencoba ikut andil meramaikan dengan memukuli pantat beduk yang terbuat dari pohon kelapa itu.
Embah Pendi tidak hanya terampil dalam memainkan beduk, tapi juga membuatnya. Dia handal dalam menyamak kulit kerbau, melubangi batang pohon kelapa, menghaluskan permukaannya, dan memasang kulit kerbau di ujungnya. Jadilah kulit beduk itu kencang dan nyaring bunyinya. Dari keterampilannya itu dia bisa mendapat pemasukan ketika ada yang memesan untuk dibuatkan beduk, untuk langgar, masjid, atau perlengkapan kampung memeriahkan hari raya.
“Di mana beduk-beduk, Mbah?” Tanyaku.
“Ah beduk-beduk itu sejak beberapa tahun lalu kalau bulan puasa seperti ini disimpan di kampung Cigadung. Pada setengah bulan puasa akhir, setiap malam kampung kita bergabung dengan kampung Cigadung. Begadang kita semalaman di sana beradu beduk dan bebeluk dengan kampung Sukalimas dan Cidahu sampai tiba waktunya sahur.”
Dia menyambung lagi. “Sekarang tradisi adu beduk sudah semakin sedikit. Beberapa kampung sudah tidak lagi memesan dibuatkan beduk. Orang-orang tuanya sudah malas, para pemudanya pun sudah jarang yang tinggal di kampung, mereka lebih memilih tinggal di kota karena di sana ada pekerjaan, ada uang. Ya beginilah keadaannya, sepi di mana-mana, di rumah sepi, di dapur sepi, di meja makan sepi, dan kampung semakin lama semakin sepi.”
Dia tertawa kecil lalu menghela nafas. “Beduk-beduk kampung Lembur Jambu, Carodok, Sampora, Ciceri, dan Pasir Peuteuy sudah tidak lagi bersuara. Dulu mungkin kau juga masih ingat, adu beduk cukup kita lakukan di sini. Beradu dengan kampung Cigadung saja sudah meriah, meriah di malam takbiran dan di hari raya. Sekarang, kampung Cigadung sendiri tidak lagi punya beduk paling hanya beduk untuk panggilan salat. Jadi, aku harus ke sana membawa beduk-beduk untuk dibunyikan menjawab tantangan beduk dari kampung Sukalimas dan Cidahu. Kalau dari sini, suara beduk tidak akan terdengar kedua kampung itu.”
Tapi, setua ini ia masih kuat dengan tradisi beduk itu. Bukan beduk itu saja yang kukhawatirkan, tapi yang lainnya juga. “Embah masih kuat bebeluk?” Tanyaku penasaran. Dia hanya tersenyum.
Bebeluk ini adalah seni tarik suara, menyuarakan lafadz-lafadz arab yang mengandung pujian kepada Tuhan dengan nada tinggi dan lantang. Nada tinggi itu meliuk-liuk sampai bunyinya bisa menyerupai bunyi trompet pencak silat. Biasanya bebeluk mengiringi suara alunan beduk. Aku salut bila dia yang sudah setua ini masih kuat bebeluk.
“Kalau kau tidak percaya, nanti malam kita main beduk di sana bersama para pemuda.” Ajaknya. Kumisnya lantas mengembang di bibir.
Kami lalu banyak bercerita satu sama lain. Dia banyak bertanya tentang perantauanku sampai pertanyaan-pertanyaan yang sulit kujawab. Ketika magrib tiba, aku ditawari untuk berbuka puasa. Sebenarnya dalam hati aku tak enak merepotkan begini, tapi dia memaksa. Kami makan dengan lahap. Menunya sederhana, hanya ikan asin, tempe, tahu, sambal, dan petai untuk lalap.
“Petai hari ini sedang murah karena di mana-mana panen jengkol sedang banyak. Makanya aku sanggup beli lalap ini.” Katanya sambil tertawa.
Di tengah tawanya aku melihat kekhawatiran. Aku bisa melihat tubuh yang dibungkus kaos dan kain sarung itu, kurus, keriput, beberapa belang merah sisa kerokan bisa terlihat di belakang leher dan lengannya, mungkin dia sakit, tapi ditahan-tahan. Tak terasa belasan tahun di perantauan, sekarang tampak padaku potret dia, hidup bertambah tua di gubuk sederhana begini. Anak-anaknya sudah tidak lagi di rumah, bahkan di kampung ini. Hanya seorang istri yang sama-sama sudah tua menemaninya. Saat aku menyuapkan makanan ke mulutku, aku seperti merasa bersalah besar, makan dari orang yang entah besok masih bisa membeli beras atau tidak sedang aku masih bisa menyimpan uang untuk beberapa minggu ke depan. Aku hanya makan secukupnya, sekadar melegakan ketulusannya menawariku berbuka puasa.
Malam harinya, aku benar diajak ke kampung Cigadung untuk menyaksikan adu beduk. Di sana beduk-beduk sudah berderet rapi menghadap alas luas yang membatasi kampung Cigadung dengan kampung Sukalimas dan Cidahu. Tempat itu hanya diterangi dua lampu neon, satu lampu di atas beduk-beduk besar dan satu lagi di atas beduk-beduk kecil. Beberapa mikrofon terpasang di belakang beduk besar dan kecil itu.
Orang-orang ramai berdatangan padahal malam cukup larut. Sebagian dari mereka ada yang membawakan makanan ringan, seperti rangginang, gipang, peyek, pisang, dan ubi rebus untuk para penabuh beduk. Embah pendi datang denganku, membawa satu teko penuh bajigur panas. Dia duduk di bawah pohon duku menghadap beberapa beduk kecil yang sudah disiapkan di sana lalu menyalakan sebatang rokok. Aku hanya berjongkok di antara para penonton lain tepat di belakangnya.
Pada pukul sepuluh dia mendendangkan beduk-beduk kecil yang berirama itu. Sebatang rokok kretek di mulutnya seakan menjadi ramuan untuk menikmati permainan ini. Alunan beduk kecil lalu diikuti oleh tabuhan beduk-beduk besar dengan kompak.
Aku tersirap. Irama keras beduk-beduk itu mengetuk keras hati kami para penonton, bunyinya sanggup membelah malam sepi di alas yang luas untuk sampai di kampung tetangga. Alunan beduk ini tidak lama, seakan menyelesaikan satu lagu lalu berhenti. Ternyata tabuhan pertama ini tanda disampaikannya salam adu beduk dengan kampung Cidahu dan Sukalimas.
Para penabuh beduk duduk sejenak, menunggu balasan dari kampung tetangga. Sambil menunggu, sebagian dari mereka mengobrol sambil merokok, sebagian lain makan ubi rebus dengan asap yang masih mengepul. Satu dua penonton menuangkan beberapa gelas bajigur panas lalu menawarkannya pada para penabuh, termasuk Embah Pendi. Panas-panas bajigur itu diseruput, aku pun mencicipinya, hangat sekali di tenggorokan dan di dalam perut, mengobati dinginnya angin malam ketika berhembus dari arah alas.
“Inilah ramuan utama untuk bebeluk supaya tenggorokan bersih, suara bagus dan panjang,” ujar Embah Pendi ketika menoleh padaku.
Beberapa saat kemudian balasan datang dari kampung tetangga, tampaknya dari kampung Cidahu karena datang dari arah tenggara. Kami mendengarkan baik-baik. Tidak lama, satu lagu mereka selesaikan untuk menjawab salam dari kampung kami. Setelah alunan beduk mereka tak lagi terdengar, para penabuh beduk kami segera bergegas kembali ke posisi masing-masing. Rangkaian alunan beduk kedua siap untuk dilepaskan.
Benarlah ketika rangkaian alunan beduk kedua, Embah Pendi mulai meneriakkan bebeluk. Terpana aku melihatnya. Meski dengan usia tua seperti itu, suaranya masih tinggi, bagus, dan indah, memekik di antara gemuruh tabuhan beduk. Urat lehernya mengencang, mulutnya bergetar, dan matanya terpejam mengilhami. Kukira, tanpa mikrofon di depan mulut pun suara lantang seperti itu bisa sampai ke kampung tetangga meski harus menembus satu hektar alas. Beberapa pemuda meletakkan ponsel mereka untuk merekam apa yang didengar malam itu. Ada yang meletakkan di pantat beduk untuk merekam lebih jelas tabuhan-tabuhan beduk, ada pula yang merekam suara bebeluk Embah Pendi.
Kali ini suara tabuhan beduk mengalun lebih lama. Kiranya bila diterjemahkan ke dalam durasi musik, beberapa lagu telah dirangkap menjadi satu. Selain itu, terdengar pula variasi yang dimainkan Embah Pendi untuk mengatur klimaks lagu-lagu beduk hingga permainan diselesaikan dengan gegap gempita. Selanjutnya suara beduk menderu lagi dari arah kampung tetangga.
Di tengah suasana malam yang semakin dingin, kukalungkan sarung di leher dan kunaikkan resleting jaket. Kutiupi bajigur panas sambil mendengar sayup-sayup suara beduk dari kampung tetangga. Sejenak kuperhatikan Embah Pendi. Ah, dia pun tampak kedinginan. Dia sempat terbatuk satu dua kali lalu seakan menahannya, menelan dahak dalam-dalam dan meneguk air bajigur.
Tak terasa, beduk telah ditabuh dan dibalas berkali-kali. Angin malam telah menusuk-nusuk tulang semakin dalam. Teko yang awalnya berisi bajigur penuh pun telah menjadi ringan, hanya berisi ampas jahe dan serasahnya. Kulihat ponsel, jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Kami masih menyimak balasan yang cukup lama dari kampung Sukalimas.
Suara beduk dari kampung Sukalimas akhirnya berhenti. Sekarang giliran kampung kami. Para penabuh lantas bergegas, kembali ke posisinya. Beduk-beduk kecil mulai disenandungkan diikuti tabuhan beduk-beduk besar. Tampaknya tabuhan kali ini menjadi paling keras yang digemakan. Mungkin inilah penghabisan sebelum tiba waktunya sahur.

Kulihat Embah Pendi melenguhkan lagi bebeluk-nya. Urat lehernya mengencang, mulutnya bergetar, dan matanya terpejam mengilhami. Suaranya melengking, membelah hamparan kebun luas, terbang bersama angin, mengembara menyampaikan pesan bahwa ini beduk-beduk kami. Dari beduk ini kami hidup dan dengan beduk ini kami membawa kemeriahan dan kebahagiaan menyambut hari raya. Adakah dari kalian yang ingin menjawab beduk kami? Sayang, tidak lagi ada jawaban hingga aku kembali ke perantauan. 

Monday 3 November 2014

Antara Awan dan Langit

Menikmati asap rokok yang hangat dan pemandangan di atas awan yang membentang luas seperti ini bisa kawan-kawan dapatkan di puncak Gunung Lawu..

Terjun Bebas

 
Kalian bisa temukan ini di Pantai Krakal, Gunung Kidul, Yogyakarta :)