Senandung Beduk Kampung Ambuleuit
Sudah sebelas tahun lamanya aku
tidak bertemu dengan Embah Pendi. Ah, bahkan sejak aku masih memanggilnya
dengan sebutan Pak Pendi karena dulu belum begitu tua umurnya. Dia sudah
seperti guruku sendiri meski aku tak belajar mengaji atau membaca darinya. Dia
bukan kiai, ustadz, atau guru sekolah. Dia hanya orang biasa yang lihai membuat
dan memainkan beduk.
Waktu
kecil sering aku main di rumahnya, belajar tentang memainkan beduk,
mendengarnya olah tarik suara bebeluk,
dan melihat pemuda-pemuda minta dibersihkan tenggorokannya dengan cara gurah
agar punya suara yang bagus.
Rumahnya
tidak jauh dari rumahku, hanya terpisahkan beberapa rumah dan kebun di kampung
Ambuleuit, kota kelahiranku Pandeglang. Saat aku berkunjung, dia sedang duduk bersila di
balai-balai depan rumahnya. “Kau?” serunya.
“Iya,
Mbah.” Kucium tangannya. Garis-garis keriput dan kumis yang separo beruban di
wajahnya menegaskanku bahwa dia sudah menjadi seorang embah.
Diajaknya
aku masuk ke dalam rumah. Rumahnya masih seperti dulu. Dindingnya terbuat dari
bilik bambu. Lantainya masih telanjang, tak ada keramik atau semen yang
menutupi. Kursi, meja, dan perabot lainnya sebagian besar terbuat dari kayu.
Tidak ada yang berubah selama ini bagiku, hanya terasa lebih sepi ketimbang
dulu. Kabar yang kudengar di perantauan memang semua anaknya sudah berkeluarga
dan tak ada yang tinggal di sini. Mungkin hanya lebaran waktu semua anggota
keluarga berkumpul.
“Sekarang
sepi ya, Mbah?” Tanyaku, memancing pembicaraan.
“Ya,
tidak seperti dulu. Anak-anak sekarang sudah dewasa, sudah bisa menentukan
nasib sendiri. Mereka bekerja di kota lalu menikah dan punya keluarga. Hanya
aku dengan istri yang tinggal di sini.” Wajahnya terlihat sendu.
Betapa
dulu aku masih ingat ramainya rumah ini. Anak-anak Embah Pendi hanya satu dan dua
tahun lebih tua dariku. Aku sering main di sini bersama mereka. Apa lagi ketika
tiba bulan puasa seperti ini. Di halaman rumah, Embah Pendi dan para pemuda
memainkan beduk tiap sore sampai menjelang magrib. Dia menabuh tiga beduk kecil
dengan bunyi berbeda dan para pemuda menabuh beduk besar yang berderet
berdampingan. Kadang dia mengiringi rampak beduk itu dengan bebeluk keras-keras. Orang-orang ramai
menonton. Aku dan anak-anak kecil lainnya berlarian lalu lalang di antara
beduk-beduk sambil membawa ranting-ranting pohon. Kadang kami mencoba ikut
andil meramaikan dengan memukuli pantat beduk yang terbuat dari pohon kelapa
itu.
Embah
Pendi tidak hanya terampil dalam memainkan beduk, tapi juga membuatnya. Dia
handal dalam menyamak kulit kerbau, melubangi batang pohon kelapa, menghaluskan
permukaannya, dan memasang kulit kerbau di ujungnya. Jadilah kulit beduk itu
kencang dan nyaring bunyinya. Dari keterampilannya itu dia bisa mendapat
pemasukan ketika ada yang memesan untuk dibuatkan beduk, untuk langgar, masjid,
atau perlengkapan kampung memeriahkan hari raya.
“Di
mana beduk-beduk, Mbah?” Tanyaku.
“Ah
beduk-beduk itu sejak beberapa tahun lalu kalau bulan puasa seperti ini
disimpan di kampung Cigadung. Pada setengah bulan puasa akhir, setiap malam
kampung kita bergabung dengan kampung Cigadung. Begadang kita semalaman di sana
beradu beduk dan bebeluk dengan
kampung Sukalimas dan Cidahu sampai tiba waktunya sahur.”
Dia
menyambung lagi. “Sekarang tradisi adu beduk sudah semakin sedikit. Beberapa
kampung sudah tidak lagi memesan dibuatkan beduk. Orang-orang tuanya sudah
malas, para pemudanya pun sudah jarang yang tinggal di kampung, mereka lebih
memilih tinggal di kota karena di sana ada pekerjaan, ada uang. Ya beginilah
keadaannya, sepi di mana-mana, di rumah sepi, di dapur sepi, di meja makan
sepi, dan kampung semakin lama semakin sepi.”
Dia
tertawa kecil lalu menghela nafas. “Beduk-beduk kampung Lembur Jambu, Carodok,
Sampora, Ciceri, dan Pasir Peuteuy sudah tidak lagi bersuara. Dulu mungkin kau
juga masih ingat, adu beduk cukup kita lakukan di sini. Beradu dengan kampung
Cigadung saja sudah meriah, meriah di malam takbiran dan di hari raya.
Sekarang, kampung Cigadung sendiri tidak lagi punya beduk paling hanya beduk
untuk panggilan salat. Jadi, aku harus ke sana membawa beduk-beduk untuk
dibunyikan menjawab tantangan beduk dari kampung Sukalimas dan Cidahu. Kalau
dari sini, suara beduk tidak akan terdengar kedua kampung itu.”
Tapi,
setua ini ia masih kuat dengan tradisi beduk itu. Bukan beduk itu saja yang
kukhawatirkan, tapi yang lainnya juga. “Embah masih kuat bebeluk?” Tanyaku penasaran. Dia hanya tersenyum.
Bebeluk
ini adalah seni tarik suara, menyuarakan lafadz-lafadz arab yang mengandung
pujian kepada Tuhan dengan nada tinggi dan lantang. Nada tinggi itu meliuk-liuk
sampai bunyinya bisa menyerupai bunyi trompet pencak silat. Biasanya bebeluk mengiringi suara alunan beduk.
Aku salut bila dia yang sudah setua ini masih kuat bebeluk.
“Kalau
kau tidak percaya, nanti malam kita main beduk di sana bersama para pemuda.”
Ajaknya. Kumisnya lantas mengembang di bibir.
Kami
lalu banyak bercerita satu sama lain. Dia banyak bertanya tentang perantauanku
sampai pertanyaan-pertanyaan yang sulit kujawab. Ketika magrib tiba, aku
ditawari untuk berbuka puasa. Sebenarnya dalam hati aku tak enak merepotkan
begini, tapi dia memaksa. Kami makan dengan lahap. Menunya sederhana, hanya
ikan asin, tempe, tahu, sambal, dan petai untuk lalap.
“Petai
hari ini sedang murah karena di mana-mana panen jengkol sedang banyak. Makanya
aku sanggup beli lalap ini.” Katanya sambil tertawa.
Di
tengah tawanya aku melihat kekhawatiran. Aku bisa melihat tubuh yang dibungkus
kaos dan kain sarung itu, kurus, keriput, beberapa belang merah sisa kerokan
bisa terlihat di belakang leher dan lengannya, mungkin dia sakit, tapi ditahan-tahan.
Tak terasa belasan tahun di perantauan, sekarang tampak padaku potret dia,
hidup bertambah tua di gubuk sederhana begini. Anak-anaknya sudah tidak lagi di
rumah, bahkan di kampung ini. Hanya seorang istri yang sama-sama sudah tua
menemaninya. Saat aku menyuapkan makanan ke mulutku, aku seperti merasa
bersalah besar, makan dari orang yang entah besok masih bisa membeli beras atau
tidak sedang aku masih bisa menyimpan uang untuk beberapa minggu ke depan. Aku
hanya makan secukupnya, sekadar melegakan ketulusannya menawariku berbuka
puasa.
Malam
harinya, aku benar diajak ke kampung Cigadung untuk menyaksikan adu beduk. Di
sana beduk-beduk sudah berderet rapi menghadap alas luas yang membatasi kampung
Cigadung dengan kampung Sukalimas dan Cidahu. Tempat itu hanya diterangi dua
lampu neon, satu lampu di atas beduk-beduk besar dan satu lagi di atas
beduk-beduk kecil. Beberapa mikrofon terpasang di belakang beduk besar dan
kecil itu.
Orang-orang
ramai berdatangan padahal malam cukup larut. Sebagian dari mereka ada yang
membawakan makanan ringan, seperti rangginang,
gipang, peyek, pisang, dan ubi rebus untuk para penabuh beduk. Embah pendi
datang denganku, membawa satu teko penuh bajigur panas. Dia duduk di bawah
pohon duku menghadap beberapa beduk kecil yang sudah disiapkan di sana lalu
menyalakan sebatang rokok. Aku hanya berjongkok di antara para penonton lain
tepat di belakangnya.
Pada
pukul sepuluh dia mendendangkan beduk-beduk kecil yang berirama itu. Sebatang
rokok kretek di mulutnya seakan menjadi ramuan untuk menikmati permainan ini. Alunan
beduk kecil lalu diikuti oleh tabuhan beduk-beduk besar dengan kompak.
Aku
tersirap. Irama keras beduk-beduk itu mengetuk keras hati kami para penonton, bunyinya
sanggup membelah malam sepi di alas yang luas untuk sampai di kampung tetangga.
Alunan beduk ini tidak lama, seakan menyelesaikan satu lagu lalu berhenti.
Ternyata tabuhan pertama ini tanda disampaikannya salam adu beduk dengan
kampung Cidahu dan Sukalimas.
Para
penabuh beduk duduk sejenak, menunggu balasan dari kampung tetangga. Sambil
menunggu, sebagian dari mereka mengobrol sambil merokok, sebagian lain makan
ubi rebus dengan asap yang masih mengepul. Satu dua penonton menuangkan beberapa
gelas bajigur panas lalu menawarkannya pada para penabuh, termasuk Embah Pendi.
Panas-panas bajigur itu diseruput, aku pun mencicipinya, hangat sekali di
tenggorokan dan di dalam perut, mengobati dinginnya angin malam ketika
berhembus dari arah alas.
“Inilah
ramuan utama untuk bebeluk supaya
tenggorokan bersih, suara bagus dan panjang,” ujar Embah Pendi ketika menoleh
padaku.
Beberapa
saat kemudian balasan datang dari kampung tetangga, tampaknya dari kampung
Cidahu karena datang dari arah tenggara. Kami mendengarkan baik-baik. Tidak
lama, satu lagu mereka selesaikan untuk menjawab salam dari kampung kami. Setelah
alunan beduk mereka tak lagi terdengar, para penabuh beduk kami segera bergegas
kembali ke posisi masing-masing. Rangkaian alunan beduk kedua siap untuk
dilepaskan.
Benarlah
ketika rangkaian alunan beduk kedua, Embah Pendi mulai meneriakkan bebeluk. Terpana aku melihatnya. Meski
dengan usia tua seperti itu, suaranya masih tinggi, bagus, dan indah, memekik
di antara gemuruh tabuhan beduk. Urat lehernya mengencang, mulutnya bergetar,
dan matanya terpejam mengilhami. Kukira, tanpa mikrofon di depan mulut pun
suara lantang seperti itu bisa sampai ke kampung tetangga meski harus menembus
satu hektar alas. Beberapa pemuda meletakkan ponsel mereka untuk merekam apa
yang didengar malam itu. Ada yang meletakkan di pantat beduk untuk merekam
lebih jelas tabuhan-tabuhan beduk, ada pula yang merekam suara bebeluk Embah Pendi.
Kali
ini suara tabuhan beduk mengalun lebih lama. Kiranya bila diterjemahkan ke
dalam durasi musik, beberapa lagu telah dirangkap menjadi satu. Selain itu, terdengar
pula variasi yang dimainkan Embah Pendi untuk mengatur klimaks lagu-lagu beduk
hingga permainan diselesaikan dengan gegap gempita. Selanjutnya suara beduk
menderu lagi dari arah kampung tetangga.
Di
tengah suasana malam yang semakin dingin, kukalungkan sarung di leher dan
kunaikkan resleting jaket. Kutiupi bajigur panas sambil mendengar sayup-sayup
suara beduk dari kampung tetangga. Sejenak kuperhatikan Embah Pendi. Ah, dia
pun tampak kedinginan. Dia sempat terbatuk satu dua kali lalu seakan menahannya,
menelan dahak dalam-dalam dan meneguk air bajigur.
Tak
terasa, beduk telah ditabuh dan dibalas berkali-kali. Angin malam telah
menusuk-nusuk tulang semakin dalam. Teko yang awalnya berisi bajigur penuh pun
telah menjadi ringan, hanya berisi ampas jahe dan serasahnya. Kulihat ponsel,
jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Kami masih menyimak balasan yang cukup
lama dari kampung Sukalimas.
Suara
beduk dari kampung Sukalimas akhirnya berhenti. Sekarang giliran kampung kami. Para
penabuh lantas bergegas, kembali ke posisinya. Beduk-beduk kecil mulai
disenandungkan diikuti tabuhan beduk-beduk besar. Tampaknya tabuhan kali ini menjadi
paling keras yang digemakan. Mungkin inilah penghabisan sebelum tiba waktunya
sahur.
Kulihat
Embah Pendi melenguhkan lagi bebeluk-nya.
Urat lehernya mengencang, mulutnya bergetar, dan matanya terpejam mengilhami. Suaranya
melengking, membelah hamparan kebun luas, terbang bersama angin, mengembara
menyampaikan pesan bahwa ini beduk-beduk kami. Dari beduk ini kami hidup dan
dengan beduk ini kami membawa kemeriahan dan kebahagiaan menyambut hari raya.
Adakah dari kalian yang ingin menjawab beduk kami? Sayang, tidak lagi ada
jawaban hingga aku kembali ke perantauan.