Saturday 31 December 2016

Catatan Akhir Tahun, Kaleidoskop Dua Wilayah Perbatasan

Kalimantan

Awal tahun 2016, saya masih berada di bumi Kalimantan tepatnya di Kabupaten Nunukan yang berbatasan dengan Malaysia. Nunukan merupakan kabupaten yang terdiri dari Pulau Nunukan sendiri dengan beberapa kecamatan yang tersebar di Pulau Sebatik dan Wilayah III, sebuah sebutan bagi kecamatan Sebuku, Tulin Onsoi, Sembakung, Sembakung Atulai, Lumbis, Lumbis Ogong, dan Krayan yang terletak di pulau besar Kalimantan. Saya dengan beberapa teman ditugaskan atas nama Patriot Energi untuk memfasilitasi masyarakat merawat Pembangkit Listrik Tenaga Surya yang dibangun di desa mereka.

Kalimantan sangat identik dengan sungai. Bila menerawang peta Kalimantan, kita bisa melihat dengan jelas begitu banyak garis-garis biru dari laut bebas menjalar masuk ke dalam sela-sela pulau Kalimantan. Hal ini membuat penduduk Kalimantan familiar dengan alat transportasi air, seperti ketinting (perahu kecil panjang dengan sebuah mesin diesel), speedboat dengan mesin PK 40 sampai PK 200, dan kapal berukuran besar. 
Sebuah ketinting siap mengantarkan penumpang melalui sungai. Foto oleh: Soni Mijaya
Begitu pula dengan penduduk di Kabupaten Nunukan, masyarakat yang didominasi oleh suku Dayak Tidung dan Bugis ini banyak memanfaatkan alat transportasi air untuk kegiatan sehari-harinya. Untuk mencari ikan atau udang, masyarakat nelayan menggunakan ketinting. Saat hendak bepergian ke pulau lain mereka menggunakan speedboat, layaknya penduduk di Pulau Jawa menggunakan bis ketika hendak bepergian ke luar kota. Adapun untuk mendistribusikan kebutuhan bahan pokok sembako, minyak tanah, dan bensin ke beberapa titik di Nunukan penduduk menggunakan kapal besar.

Banyak desa di Wilayah III Kabupaten Nunukan belum memperoleh fasilitas listrik. Saat saya ditugaskan di Desa Pembeliangan, Kecamatan Sebuku, beberapa warga melaporkan bahwa banyak desa yang berada di kecamatan Krayan dan Lumbis Ogong yang sama sekali belum terdapat aliran listrik. Setelah saya tanya lebih lanjut, ternyata desa-desa tersebut terletak di wilayah yang cukup dalam dan belum terdapat akses jalur darat. Masyarakat sendiri kesulitan untuk bisa bepergian ke sana.

Salah seorang teman yang bertugas di desa Sumentobol, kecamatan Lumbis Ogong melaporkan bahwa beberapa desa di sekitarnya masih gelap gulita. Lumbis Ogong merupakan kecamatan di Wilayah III yang tidak memiliki akses darat sehingga hanya bisa dicapai melalui sungai dengan aliran jeram yang deras. Saya bertanya padanya bagaimana pengiriman bahan-bahan konstruksi PLTS bisa sampai di sana. Dia mengatakan sangat sulit karena berton-ton berat total tiang listrik, gulungan kabel, baterai, modul surya, semen, baja ringan, dan komponen lainnya harus diangkut dengan kapal yang sering tersendat-sendat ketika sungai dangkal dan bertemu jeram deras.


Hambatan tidak sampai di situ saja, saat tiba di pelabuhan desanya barang-barang tersebut harus diangkut secara manual per orang. Sebuah baterai dengan bobot 70 kg diangkut warga dengan berjalan kaki mendaki bukit terjal dan licin begitu pula dengan komponen PLTS lainnya. Pembangunan yang dijadwalkan selesai dalam waktu tiga bulan harus memakan waktu sekitar lima bulan.
Motor dan barang-barang berukuran berat biasa diangkut ke perahu untuk dibawa mengarungi sungai
Saya jadi berpikir, barang kali hal ini yang menjadi salah satu sebab pembangunan di Indonesia tidak merata dan tidak efisien. Saat pembangunan digalakkan dari desa di wilayah terluar seperti Kabupaten Nunukan, sebaiknya pembangunan akses jalan dilakukan terlebih dahulu. Bila akses jalan sudah dibangun sebaik mungkin, pembangunan dalam asek lainnya seperti listrik bisa dilakukan dengan mudah. Selama ini, jalan yang sudah terbentang di Wilayah III kabupaten Nunukan merupakan jalan bekas pembukaan lahan perkebunan oleh perusahaan. Jalan-jalan tersebut cukup memprihatinkan. Truk-truk roda sepuluh pengangkut sawit dan kayu setiap hari berlalu lalang. Jalan yang diperbaiki lalu rusak kembali dalam tempo yang singkat.


Hambatan tidak adanya akses jalan ini sepenuhnya merupakan hambatan fisik, hambatan yang tampak nyata dan kebutuhannya konkret. Bila berbicara pembangunan desa secara keseluruhan, maka tantangan lebih banyak terdapat pada kesiapan SDM masyarakat desa. SDM masyarakat desa di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan – Malaysia sebetulnya sudah lumayan terdidik dengan baik. Di sana sudah ada pendidikan dari SD sampai dengan SMA. Sebagian pemudanya juga sudah mengecap pendidikan perguruan tinggi di kota besar seperti Samarinda dan Balikpapan. Namun demikian, pendidikan itu lantas menjadi koreksi tersendiri. Banyak pemuda bertaraf pendidikan SMA di Nunukan lebih memilih bekerja di Malaysia dengan gaji yang menjanjikan. Adapun yang berpendidikan tinggi banyak yang enggan kembali ke desanya karena sudah merasa nyaman hidup dan bekerja di kota besar.
Tugu yang menjadi saksi pembangunan wilayah perbatasan RI - Malaysia
Tampaknya, pemerintah baik pusat maupun daerah memiliki tugas rumah yang cukup besar. Saya tidak tahu apakah mereka pernah melewati bukit tertinggi yang ada di Pulau Sebatik ataukah tidak. Pulau Sebatik merupakan pulau yang terbagi dua bagian, sebagian milik Indonesai sebagian lain milik Malaysia. Di Pulau Sebatik jalan berliku-liku dan naik turun cukup terjal. Ada sebuah bukit tinggi yang bisa dilalui kendaraan roda empat. Saat saya melintasi bukit tersebut di malam hari - akses jalan di Pulau Sebatik sudah lebih baik daripada di Wilayah III - tampak pemandangan dua bagian negara, Indonesia dengan pemandangan Kabupaten Nunukan dan Malaysia dengan pemandangan Kota Tawau. Saya hanya bisa bersedih dan meratap, betapa di sisi negara tetangga tampak telah terang benderang dengan tatakota yang rapi sedangkan di sisi lain di bumi pertiwi yang tampak hanya gelap gulita. Sejak saat itu saya sebut bukit ini dengan nama Bukit Ratapan Negeri.


Papua




Pemandangan danau Sentani dari bukit Mac Arthur, Sentani, Jayapura. Foto oleh: Soni Mijaya


Negara kita adalah negara yang kaya raya akan sumber daya alam. Di sebelah utara Indonesia berhimpitan dengan Malaysia sedangkan di sebelah timur berhimpitan dengan Papua New Guinea (PNG). Berbicara tentang perbatasan bagian timur, wilayah ini jarang sekali disoroti media. Seringnya media hanya menggembar-gemborkan tentang kondisi Papua, perang-perang suku, dan wisata alam di Papua – ini juga baru beberapa tahun belakangan saja sejak terkenalnya Raja Ampat.

Bulan Juli saya bersama dengan belasan teman mendarat di tanah Papua, masih dalam misi tugas yang sama seperti sebelumnya. Butuh waktu penantian hidup selama 25 tahun bagi saya agar bisa menjejakkan kaki di sini untuk pertama kalinya. Tiba di bandara Sentani, saya mengibaratkan diri sebagai orang yang baru tiba di sebuah negara asing. Ketika melihat sekeliling, saya melihat banyak sekali orang kulit hitam berrambut keriting, tentu selain teman-teman dan pelancong lainnya. Keberadaan saya sebagai suku Sunda di tengah-tengah mereka suku Papua membuat saya menyadari bahwa saya minoritas. Keadaan ini barang kali merupakan sebuah shock therapy paling hebat saat pertama kali tiba di Papua.

Dalam benak saya sebelum tinggal di Papua – sebagai korban media korporasi yang penuh sajian bernuansa politis dan kurang mendidik, tanah cenderawasih ini merupakan gudangnya konflik suku, disintegrasi bangsa, dan isu-isu SARA. Maka, benak itu dengan sendirinya membuat saya sedikit khawatir dan takut melihat begitu banyak orang-orang suku Papua di sekeliling saya. Saya khawatir semua yang disebarkan media itu terjadi pada diri saya. Ternyata quote dalam film Man of Steel benar juga adanya, “Manusia takut terhadap apa yang mereka tidak pahami.” Lima bulan tinggal di pedalaman Papua membuat saya mengerti bahwa ketakutan dan gembar-gembor media itu keliru.

Di Papua saya tinggal dan bertugas di desa (di Papua lazim disebut kampung) Banda, Kecamatan (distrik) Waris, kabupaten Keerom. Desa Banda merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan negara PNG, hanya setengah jam dengan berjalan kaki. Para penduduk di kampung Banda merupakan suku Walsa bermarga May. Dengan jumlah kepala keluarga sekitar 120, warga kampung Banda baru teraliri listrik pada tahun ini.

Perjalanan menuju kampung Banda bisa ditempuh melalui jalur darat. Perjalanan dari Jayapura memakan waktu sekitar 4 jam dengan kendaraan roda empat. Namun, medan yang ditempuh cukup berat sehingga pengunjung lebih baik menggunakan mobil 4 WD atau dobule gardan. Jalan menuju distrik Waris mudah sekali longsor karena struktur lapisan tanahnya cukup labil dan secara geografis merupakan lereng-lereng gunung. Orang Papua biasa menyebut pergi ke daerah Waris dan seterusnya sebagai perjalanan naik gunung karena semakin ke selatan (dari Jayapura) dataran cenderung semakin meninggi, kecuali sudah tiba di wilayah Merauke yang berada di wilayah Papua paling selatan.
Distrik Waris berada di lintas jalan Trans Papua, jalan yang mencoba menghubungkan wilayah Papua bagian utara sampai selatan. Kedudukan kampung Banda cukup terisolasi karena tidak seperti kampung lainnya yang terletak tepat di pinggiran jalan Trans Papua, kampung Banda terletak menjorok ke dalam (dengan kondisi jalan yang buruk) sekitar 3 km dari poros jalan tersebut. Namun demikian, masyarakat di kampung Banda sudah cukup terbuka wawasannya karena dahulu kampung ini merupakan pusat distrik Waris. Puskesmas, Koramil, dan kantor Polsek juga masih berdiri di kampung Banda sampai saat ini sebagai bukti sisa pusat distrik/kecamatan. Sebagian (meskipun sangat sedikit) warga Banda juga ada yang sudah mengenyam pendidikan tinggi dan pandai berbahasa Inggris.

Yang unik dari perbatasan Indonesia – PNG di kampung Banda dan sekitarnya adalah masyarakat masih cukup abai dengan garis batas negara. Bagi mereka, garis batas tersebut hanyalah simbol. Warga Banda setiap hari merasa biasa saja melintasi perbatasan negara pergi ke PNG untuk berbagai keperluan, tanpa passport tanpa surat izin apa pun, begitu pun sebaliknya banyak warga PNG yang masuk ke Indonesia melalui kampung Banda. Hal ini dikarenakan hubungan kekerabatan antara kampung Banda dengan kampung Boda (kampung di PNG yang berbatasan dengan Indonesia) masih erat. Masyarakat di kedua kampung tersebut merupakan suku Walsa dan marga May. Banyak anggota keluarga dari masyarakat kampung Banda merupakan warga PNG dan perjalanan setengah jam membuat mereka bisa berinteraksi sehari-hari.

Maka, di distrik Waris dan sekitarnya adalah pemandangan yang biasa bagi saya menyaksikan beberapa warga PNG berlalu-lalang, ada yang sekolah, bekerja, ataupun berjualan di Indonesia. Ciri dari warga PNG adalah mereka memiliki tanda di dahinya. Bahasa yang biasa mereka gunakan adalah bahasa Pidgin dan Inggris slank. Saya pernah berbicara dengan beberapa dari mereka. Ketika saya tanya tanggapan mereka mengenai pembangunan Papua, mereka mengatakan bahwa pembangunan di wilayah perbatasan Indonesia masih jauh lebih baik daripada wilayah perbatasan negara PNG. Di Papua, pendidikan dan pengobatan diberlakukan secara gratis sebagai kebijakan otonomi khusus. Di PNG bagian perbatasan, masyarakat masih terabaikan. Oleh karena itu, banyak masyarakat PNG pergi ke Indonesia untuk sekolah dan berobat. 
Keadaan masyarakat suku Walsa di kampung Banda, Papua. Foto oleh: Soni Mijaya
Lima bulan tinggal di kampung Banda dan bergaul dengan masyarakat di sana membuat saya sedikit banyak paham mengenai Papua. Mungkin kampung Banda bukan sebuah sampel yang sempurna untuk  bahan analisis tentang Papua, tetapi paling tidak banyak gambaran utuh mengenai masyarakat Papua yang saya peroleh di sana. Kondisi masyarakat di kampung Banda dengan telanjang memperlihatkan pada saya sebuah problematika yang kompleks tentang Papua. Mari kita kupas satu per satu.
Pendidikan dan Agama
Di kampung Banda, penduduk asli 100% beragama Katolik. Sebuah gereja paroki berdiri di sana dengan seorang pastur yang ditugaskan dari Nusa Tenggara Timur (NTT) bernama Daniel. Pastur Daniel tidak tinggal sendiri. Ia tinggal bersama seorang pastur juga bernama Emanuel yang ditugaskan Paroki untuk memimpin sekolah dasar bernama SD YPPK (Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Katolik) Kenandega. Kenandega merupakan nama sebuah daerah di kampung Banda yang berbatasan dengan kampung Kalifam.

SD YPPK Kenandega adalah sekolah swasta yang merupakan satu-satunya satuan pendidikan di kampung Banda. Murid-muridnya berasal dari kampung Kalifam, Pund, Kalipai, Kalibom, dan Papua New Guinea. Tidak ada satuan pendidikan negeri baik SD, SMP, maupun SMA di Banda. Sekolah negeri yang paling dekat hanya ada di pinggir jalan Trans Papua di dusun Kalibom, kampung Kalifam, sekitar 5 km dari Banda. Setiap hari, anak-anak sekolah berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, sebagian menyusuri jalan yang buruk sejauh 5 km, sebagian menyusuri sungai yang deras. Bila malam atau pagi hari hujan deras, maka sebagian besar murid tidak akan berangkat ke sekolah karena akses yang buruk tersebut.


Sistem pendidikan di SD YPPK Kenandega sudah cukup baik karena mengikuti sistem yang diterapkan yayasan Katolik pusat. Setiap pagi sebelum masuk ke kelas, para siswa berbaris untuk mendapatkan pengarahan dari kepala sekolah dan berdoa bersama. Pengarahan biasanya disampaikan kepala sekolah untuk menghukum para siswa yang absen sekolah di hari sebelumnya, tidak ibadah hari Minggu di gereja, atau tidak mengikuti kegiatan tertentu yang sudah dijadwalkan. Hukuman yang diberikan oleh sekolah biasanya adalah anak-anak harus mengambil batu kali ke sekolah. Batu-batu yang bertumpuk saat ini sudah cukup banyak. Kepala sekolah menjelaskan pada saya bahwa batu-batu tersebut suatu saat bisa berguna untuk pembangunan sekolah.


Siswa-siswi SD YPPK Kenandega melakukan doa bersama sebelum masuk ke kelas. Foto oleh: Soni Mijaya
Kepala sekolah mengatakan bahwa anak-anak SD YPPK Kenandega memang cukup sulit diatur dalam pendidikan. Nasihat dan hukuman bahkan sudah sering diberikan, tetapi mereka tetap mengulangi kesalahan yang sama. Paling umum kesalahan mereka adalah malas berangkat sekolah. Pihak sekolah padahal sudah sering melakukan koordinasi dengan para orang tua siswa untuk bersinergi dalam pendidikan anak-anak. Namun, orang tua mereka juga mengakui bahwa anak-anak sulit diatur dan sering dijuluki kepala batu. Barang kali baru di sekolah ini saya sering mendengarkan julukan kepala batu diberikan pada murid.


Menurut saya, hadirnya organisasi Katolik untuk bertugas dalam pendidikan dan agama di kampung Banda sangat membantu bagi masyarakat perbatasan. Namun demikian, fasilitas yang mereka miliki masih cukup minim. Sekolah belum teraliri listrik. Para guru dan petugas sekolah harus pergi ke Arso, pusat kabupaten Keerom, selama 2 jam perjalanan untuk mencetak dan mengopi lembaran soal dan materi pelajaran. Selain itu, tenaga pengajar yang ada di sekolah masih kurang baik secara kuantitasa maupun kualitas. Kepala sekolah mengatakan bahwa ada sepuluh kelas di SD YPPK Kenandega dan hanya ada delapa guru yang aktif. Dari delapan guru tersebut, sebagiannya hanyalah lulusan SMA.

Para siswa harus melalui sungai tanpa jembatan untuk sampai di sekolah. Foto oleh: Soni Mijaya
Dalam hal ini, sayang sekali peran pemerintah daerah maupun pusat masih minim. Banyak sekali tugas rumah untuk memajukan pendidikan di Papua. Hambatan lagi-lagi terletak pada akses (jalan), sumber daya manusia, dan fasilitas pendidikan. Bila menilik kemajuan yang dicapai di era sekarang bisa diselesaikan melalui pendidikan, maka sebaiknya pendidikan menjadi perhatian prioritas untuk pembangunan di Papua.

Sosial Masyarakat

Seorang petugas di Koramil suatu ketika pernah berkata secara berkelakar pada saya. Dia mengatakan, “Tuhan menakdirkan tiga al- di dunia ini. Pertama Almarhum karena setiap manusia yang hidup pasti meninggal. Kedua adalah Al-Quran. Ketiga adalah Al-kitab (injil). Tapi, khusus di Papua Tuhan menurunkan satu lagi al- yaitu Al-kohol.”


Saya kira ucapan bapak Koramil tadi ada benarnya. Lima bulan tinggal di Papua, saya sering melihat warga yang suka mabuk. Biasanya mereka mabuk setelah mendapatkan uang banyak, baik dari bekerja atau pun palang (memalak). Minimnya wawasan untuk menabung bagi masyarakat Papua membuat mereka boros secara ekonomi. Ketika mereka memiliki uang, mereka akan membelanjakannya dan menghabiskannya saat itu juga, baik sesuai kebutuhan atau pun tidak. Tampaknya budaya menghabiskan uang seketika ini telah merambah baik pada anak-anak atau pun orang tua. Saya sering melihat warga, baik anak kecil maupun orang tua, awalnya hendak membeli kebutuhan tertentu saja di kios tetapi kemudian menghabiskan seluruh kembalian uang tersebut untuk membeli barang-barang lainnya.

Patok perbatasan RI - Papua New Guinea di kampung Banda, kabupaten Keerom, Papua

Bagi kaum lelaki, kebiasaan menghabiskan uang ini dampaknya cukup buruk. Mereka yang suka mabuk akan menghabiskan uang gaji pada suatu malam untuk mabuk-mabukan. Mabuk alkohol di Papua berbeda dengan tempat lain seperti NTT atau pun Maluku. Pasalnya, orang mabuk di NTT dan Maluku akan terkapar dan tidur saat mencapai puncak mabuk. Warga yang mabuk di Papua sering membuat kegaduhan. Saya menyaksikan sendiri seorang warga yang mabuk tengah malam membawa parang sambil berteriak-teriak teror.

Kebiasaan buruk lain yang sudah membudaya di Papua adalah palang (memalak). Tidak berbeda dengan memalak pada umumnya, palang merupakan kegiatan meminta secara paksa atau memeras orang lain agar diberi uang. Di sepanjang jalan Trans Papua terdapat banyak kampung dan hampir di setiap kampung tersebut mengadakan palang bagi truk-truk yang lewat. Hal ini ternyata ditiru oleh generasi muda Papua. Saya beberapa kali pernah melihat para siswa SMA memberhentikan truk di jalan raya untuk meminta uang.


Hal yang paling miris untuk disaksikan adalah pemandangan warga Papua asli yang tidak menjadi tuan di tanah mereka sendiri. Di sepanjang jalan pusat kota Jayapura, saya menyaksikan orang-orang asli Papua berjualan secara emperan di pinggiran trotoar. Mereka berjualan pinang, sirih, kapur, noken, dan sayur-mayur. Saya melihat kota Jayapura seperti sebuah kota di Jawa yang dipindahkan ke Papua. Deretan toko, rumah makan, pengendara mobil, dan sepeda motor kebanyakan dimiliki oleh orang pendatang. Warga Papua asli hanya menyaksikan itu semua sambil berjalan dengan kaki telanjang, mengunyah sirih pinang, dan membawa tas noken. Hanya sebagian kecil saja warga Papua asli yang beruntung menjadi pegawai negeri sipil atau pengusaha.
Salah seorang tokoh adat di kampung Banda dalam acara adat dansa wama. Foto oleh Soni Mijaya
Problem di Papua memang sangat kompleks sejak dari aspek pendidikan, ekonomi, sosial, sampai budaya. Namun, hal tersebut menurut saya bukan tidak bisa diselesaikan. Kembali lagi ke kampung Banda, di sana saya banyak berbicara dengan kepala kampung dan para tokoh masyarakat setempat. Mereka merupakan suku asli Papua yang sudah terbuka wawasannya. Saat saya bertemu dengan Pak Joni May, bapak kepala kampung Banda, ia merasa bersyukur akhirnya listrik bisa masuk ke Banda. Ia sangat mengharapkan listrik bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh warga, khususnya anak-anak bisa belajar di malam hari.

Namun, di sisi lain ia lebih banyak berbincang tentang Papua. Selama ini, ia merasa sedih karena Papua di mata media dan masyarakat ibukota selalu identik dengan kekerasan dan disintegrasi bangsa. Ia menekankan sekali pada saya bahwa hal tersebut hanya terjadi di wilayah tertentu saja, tidak semua Papua. Ia tekankan bahwa warga Papua, khususnya di kampung Banda dan sekitarnya, merupakan bangsa Indonesia yang cinta tanah air dan menghindari kekerasan. Hal yang senada juga disampaikan oleh Pak Jack May, salah seorang tokoh masyarakat di kampung Banda.

Bapak Joni May dan Jack May adalah dua orang yang lama merantau di luar Papua. Mereka pernah mengenyam pendidikan di Jawa, tinggal lama di Sulawesi, dan bahkan ada yang pernah pergi ke Singapura dan Jepang untuk even kebudayaan. Perantauan tersebut menurut saya yang berpengaruh besar bagi keterbukaan wawasan mereka. Selain mencoba mengklarifikasi hal yang menurut mereka keliru tentang pandangan orang-orang terhadap Papua, mereka juga memiliki pandangan yang luas tentang pembangunan kampung, pelestarian adat istiadat suku Walsa, dan pendidikan di kampung Banda.

Maka menurut saya, pendidikan dari luar Papua bisa dijadikan model untuk membuka cakrawala wawasan warga Papua. Pendidikan dari luar Papua tersebut bisa dimaknai luas. Generasi masyarakat Papua bisa memperolehnya melalui perantauan ke luar Papua atau pun melalui hadirnya external activator bidang pendidikan di Papua. Mungkin masalah-masalah di Papua tidak bisa diselesaikan oleh generasi masyarakat Papua saat ini, tetapi melalui pendidikan perlahan-lahan generasi pengganti bisa mengisi kekuangan-kekurangan leluhur mereka di masa yang akan datang.


Potensi dan Tantangan

Kondisi masyarakat perbatasan Indonesia – Malaysia masih lebih baik daripada kondisi perbatasan di Indonesia – PNG. Masyarakat Kalimantan sudah lumayan maju dari segi pendidikan daripada Papua, meskipun keduanya tetap memiliki masalah di bidang SDM. Pertanian sebetulnya selalu menjadi sebuah potensi besar bagi kedua wilayah. Sementara ini, mainset masyarakat terhadap pertanian masih konvensional. Selain itu, minimnya wawasan keilmuan pertanian hanya memberikan produktivitas yang rendah. Seandainya masyarakat memperoleh keilmuan pertanian yang baik sejak dari pengolahan lahan hingga pengolahan pascapanen, maka bukan mustahil produktivitas yang tinggi bisa menjadikan kedua wilayah tersebut untuk swasembada.

Di sisi lain, lagi-lagi masalah yang hadir ialah masyarakat butuh pasar. Produktivitas tinggi tidak ada artinya jika hasil-hasil pertanian tidak memperoleh pasar yang menjanjikan. Maka dari itu, masyarakat di Kalimantan contohnya lebih condong memilih kelapa sawit karena perusahaan langsung mendatangi kebun mereka untuk menukarnya dengan uang. Dalam hal ini, jika pemerintah melalui kementerian pertanian mampu membuat terobosan baru untuk pendistribusian produk hasil pertanian secara baik, maka pemerataan produk pertanian dan kesejahteraan bisa dicapai.

Kemandirian lokal bisa dicapai dengan menerapkan kemandirian itu sendiri sejak dalam pikiran. Masyarakat terlanjur bergantung dan kecanduan dengan produk-produk luar, baik sebagai kebutuhan primer maupun tambahan. Sebagai contoh, untuk makan nasi masyarakat lebih memilih membeli beras dari luar daripada berusaha untuk menanam padi sendiri padahal lahan yang mereka miliki cukup luas.


Khusus untuk wilayah Papua, masyarakat saat ini lebih memilih makan nasi daripada pappeda. Hal ini berpengaruh pada besarnya permintaan beras dari luar karena mereka tidak menanam padi sendiri. Keadaan ini cukup memprihatinkan karena warga akhirnya tidak lagi ramai menanam pohon sagu. Untuk lauk pauk, banyak warga Kalimantan masih membeli sarden di tengah-tengah wilayah yang kaya hasil ikan sungainya. Pernah suatu ketika di Kalimantan saya pergi memancing dengan warga. Ternyata sekitar dua jam duduk di dermaga sungai bisa mendapatkan sejumlah ekor ikan yang bisa dikonsumsi untuk satu keluarga selama satu hari. Barang kali kedaulatan pangan memang harus ditumbuhsuburkan sejak dari kebudayaan masyarakat setempat agar mereka berupaya memanfaatkan potensi yang sebenarnya melimpah ruah.