Saturday 6 December 2014

Quote Film Finding Neverland


"All great writers begin with a good leather binding and a respectable title"
(James Barrie/Johny Depp)

Thursday 13 November 2014

Senandung Beduk Kampung Ambuleuit

Senandung Beduk Kampung Ambuleuit

            Sudah sebelas tahun lamanya aku tidak bertemu dengan Embah Pendi. Ah, bahkan sejak aku masih memanggilnya dengan sebutan Pak Pendi karena dulu belum begitu tua umurnya. Dia sudah seperti guruku sendiri meski aku tak belajar mengaji atau membaca darinya. Dia bukan kiai, ustadz, atau guru sekolah. Dia hanya orang biasa yang lihai membuat dan memainkan beduk.
Waktu kecil sering aku main di rumahnya, belajar tentang memainkan beduk, mendengarnya olah tarik suara bebeluk, dan melihat pemuda-pemuda minta dibersihkan tenggorokannya dengan cara gurah agar punya suara yang bagus.
Rumahnya tidak jauh dari rumahku, hanya terpisahkan beberapa rumah dan kebun di kampung Ambuleuit, kota kelahiranku Pandeglang. Saat aku  berkunjung, dia sedang duduk bersila di balai-balai depan rumahnya. “Kau?” serunya.
“Iya, Mbah.” Kucium tangannya. Garis-garis keriput dan kumis yang separo beruban di wajahnya menegaskanku bahwa dia sudah menjadi seorang embah.
Diajaknya aku masuk ke dalam rumah. Rumahnya masih seperti dulu. Dindingnya terbuat dari bilik bambu. Lantainya masih telanjang, tak ada keramik atau semen yang menutupi. Kursi, meja, dan perabot lainnya sebagian besar terbuat dari kayu. Tidak ada yang berubah selama ini bagiku, hanya terasa lebih sepi ketimbang dulu. Kabar yang kudengar di perantauan memang semua anaknya sudah berkeluarga dan tak ada yang tinggal di sini. Mungkin hanya lebaran waktu semua anggota keluarga berkumpul.
“Sekarang sepi ya, Mbah?” Tanyaku, memancing pembicaraan.
“Ya, tidak seperti dulu. Anak-anak sekarang sudah dewasa, sudah bisa menentukan nasib sendiri. Mereka bekerja di kota lalu menikah dan punya keluarga. Hanya aku dengan istri yang tinggal di sini.” Wajahnya terlihat sendu.
Betapa dulu aku masih ingat ramainya rumah ini. Anak-anak Embah Pendi hanya satu dan dua tahun lebih tua dariku. Aku sering main di sini bersama mereka. Apa lagi ketika tiba bulan puasa seperti ini. Di halaman rumah, Embah Pendi dan para pemuda memainkan beduk tiap sore sampai menjelang magrib. Dia menabuh tiga beduk kecil dengan bunyi berbeda dan para pemuda menabuh beduk besar yang berderet berdampingan. Kadang dia mengiringi rampak beduk itu dengan bebeluk keras-keras. Orang-orang ramai menonton. Aku dan anak-anak kecil lainnya berlarian lalu lalang di antara beduk-beduk sambil membawa ranting-ranting pohon. Kadang kami mencoba ikut andil meramaikan dengan memukuli pantat beduk yang terbuat dari pohon kelapa itu.
Embah Pendi tidak hanya terampil dalam memainkan beduk, tapi juga membuatnya. Dia handal dalam menyamak kulit kerbau, melubangi batang pohon kelapa, menghaluskan permukaannya, dan memasang kulit kerbau di ujungnya. Jadilah kulit beduk itu kencang dan nyaring bunyinya. Dari keterampilannya itu dia bisa mendapat pemasukan ketika ada yang memesan untuk dibuatkan beduk, untuk langgar, masjid, atau perlengkapan kampung memeriahkan hari raya.
“Di mana beduk-beduk, Mbah?” Tanyaku.
“Ah beduk-beduk itu sejak beberapa tahun lalu kalau bulan puasa seperti ini disimpan di kampung Cigadung. Pada setengah bulan puasa akhir, setiap malam kampung kita bergabung dengan kampung Cigadung. Begadang kita semalaman di sana beradu beduk dan bebeluk dengan kampung Sukalimas dan Cidahu sampai tiba waktunya sahur.”
Dia menyambung lagi. “Sekarang tradisi adu beduk sudah semakin sedikit. Beberapa kampung sudah tidak lagi memesan dibuatkan beduk. Orang-orang tuanya sudah malas, para pemudanya pun sudah jarang yang tinggal di kampung, mereka lebih memilih tinggal di kota karena di sana ada pekerjaan, ada uang. Ya beginilah keadaannya, sepi di mana-mana, di rumah sepi, di dapur sepi, di meja makan sepi, dan kampung semakin lama semakin sepi.”
Dia tertawa kecil lalu menghela nafas. “Beduk-beduk kampung Lembur Jambu, Carodok, Sampora, Ciceri, dan Pasir Peuteuy sudah tidak lagi bersuara. Dulu mungkin kau juga masih ingat, adu beduk cukup kita lakukan di sini. Beradu dengan kampung Cigadung saja sudah meriah, meriah di malam takbiran dan di hari raya. Sekarang, kampung Cigadung sendiri tidak lagi punya beduk paling hanya beduk untuk panggilan salat. Jadi, aku harus ke sana membawa beduk-beduk untuk dibunyikan menjawab tantangan beduk dari kampung Sukalimas dan Cidahu. Kalau dari sini, suara beduk tidak akan terdengar kedua kampung itu.”
Tapi, setua ini ia masih kuat dengan tradisi beduk itu. Bukan beduk itu saja yang kukhawatirkan, tapi yang lainnya juga. “Embah masih kuat bebeluk?” Tanyaku penasaran. Dia hanya tersenyum.
Bebeluk ini adalah seni tarik suara, menyuarakan lafadz-lafadz arab yang mengandung pujian kepada Tuhan dengan nada tinggi dan lantang. Nada tinggi itu meliuk-liuk sampai bunyinya bisa menyerupai bunyi trompet pencak silat. Biasanya bebeluk mengiringi suara alunan beduk. Aku salut bila dia yang sudah setua ini masih kuat bebeluk.
“Kalau kau tidak percaya, nanti malam kita main beduk di sana bersama para pemuda.” Ajaknya. Kumisnya lantas mengembang di bibir.
Kami lalu banyak bercerita satu sama lain. Dia banyak bertanya tentang perantauanku sampai pertanyaan-pertanyaan yang sulit kujawab. Ketika magrib tiba, aku ditawari untuk berbuka puasa. Sebenarnya dalam hati aku tak enak merepotkan begini, tapi dia memaksa. Kami makan dengan lahap. Menunya sederhana, hanya ikan asin, tempe, tahu, sambal, dan petai untuk lalap.
“Petai hari ini sedang murah karena di mana-mana panen jengkol sedang banyak. Makanya aku sanggup beli lalap ini.” Katanya sambil tertawa.
Di tengah tawanya aku melihat kekhawatiran. Aku bisa melihat tubuh yang dibungkus kaos dan kain sarung itu, kurus, keriput, beberapa belang merah sisa kerokan bisa terlihat di belakang leher dan lengannya, mungkin dia sakit, tapi ditahan-tahan. Tak terasa belasan tahun di perantauan, sekarang tampak padaku potret dia, hidup bertambah tua di gubuk sederhana begini. Anak-anaknya sudah tidak lagi di rumah, bahkan di kampung ini. Hanya seorang istri yang sama-sama sudah tua menemaninya. Saat aku menyuapkan makanan ke mulutku, aku seperti merasa bersalah besar, makan dari orang yang entah besok masih bisa membeli beras atau tidak sedang aku masih bisa menyimpan uang untuk beberapa minggu ke depan. Aku hanya makan secukupnya, sekadar melegakan ketulusannya menawariku berbuka puasa.
Malam harinya, aku benar diajak ke kampung Cigadung untuk menyaksikan adu beduk. Di sana beduk-beduk sudah berderet rapi menghadap alas luas yang membatasi kampung Cigadung dengan kampung Sukalimas dan Cidahu. Tempat itu hanya diterangi dua lampu neon, satu lampu di atas beduk-beduk besar dan satu lagi di atas beduk-beduk kecil. Beberapa mikrofon terpasang di belakang beduk besar dan kecil itu.
Orang-orang ramai berdatangan padahal malam cukup larut. Sebagian dari mereka ada yang membawakan makanan ringan, seperti rangginang, gipang, peyek, pisang, dan ubi rebus untuk para penabuh beduk. Embah pendi datang denganku, membawa satu teko penuh bajigur panas. Dia duduk di bawah pohon duku menghadap beberapa beduk kecil yang sudah disiapkan di sana lalu menyalakan sebatang rokok. Aku hanya berjongkok di antara para penonton lain tepat di belakangnya.
Pada pukul sepuluh dia mendendangkan beduk-beduk kecil yang berirama itu. Sebatang rokok kretek di mulutnya seakan menjadi ramuan untuk menikmati permainan ini. Alunan beduk kecil lalu diikuti oleh tabuhan beduk-beduk besar dengan kompak.
Aku tersirap. Irama keras beduk-beduk itu mengetuk keras hati kami para penonton, bunyinya sanggup membelah malam sepi di alas yang luas untuk sampai di kampung tetangga. Alunan beduk ini tidak lama, seakan menyelesaikan satu lagu lalu berhenti. Ternyata tabuhan pertama ini tanda disampaikannya salam adu beduk dengan kampung Cidahu dan Sukalimas.
Para penabuh beduk duduk sejenak, menunggu balasan dari kampung tetangga. Sambil menunggu, sebagian dari mereka mengobrol sambil merokok, sebagian lain makan ubi rebus dengan asap yang masih mengepul. Satu dua penonton menuangkan beberapa gelas bajigur panas lalu menawarkannya pada para penabuh, termasuk Embah Pendi. Panas-panas bajigur itu diseruput, aku pun mencicipinya, hangat sekali di tenggorokan dan di dalam perut, mengobati dinginnya angin malam ketika berhembus dari arah alas.
“Inilah ramuan utama untuk bebeluk supaya tenggorokan bersih, suara bagus dan panjang,” ujar Embah Pendi ketika menoleh padaku.
Beberapa saat kemudian balasan datang dari kampung tetangga, tampaknya dari kampung Cidahu karena datang dari arah tenggara. Kami mendengarkan baik-baik. Tidak lama, satu lagu mereka selesaikan untuk menjawab salam dari kampung kami. Setelah alunan beduk mereka tak lagi terdengar, para penabuh beduk kami segera bergegas kembali ke posisi masing-masing. Rangkaian alunan beduk kedua siap untuk dilepaskan.
Benarlah ketika rangkaian alunan beduk kedua, Embah Pendi mulai meneriakkan bebeluk. Terpana aku melihatnya. Meski dengan usia tua seperti itu, suaranya masih tinggi, bagus, dan indah, memekik di antara gemuruh tabuhan beduk. Urat lehernya mengencang, mulutnya bergetar, dan matanya terpejam mengilhami. Kukira, tanpa mikrofon di depan mulut pun suara lantang seperti itu bisa sampai ke kampung tetangga meski harus menembus satu hektar alas. Beberapa pemuda meletakkan ponsel mereka untuk merekam apa yang didengar malam itu. Ada yang meletakkan di pantat beduk untuk merekam lebih jelas tabuhan-tabuhan beduk, ada pula yang merekam suara bebeluk Embah Pendi.
Kali ini suara tabuhan beduk mengalun lebih lama. Kiranya bila diterjemahkan ke dalam durasi musik, beberapa lagu telah dirangkap menjadi satu. Selain itu, terdengar pula variasi yang dimainkan Embah Pendi untuk mengatur klimaks lagu-lagu beduk hingga permainan diselesaikan dengan gegap gempita. Selanjutnya suara beduk menderu lagi dari arah kampung tetangga.
Di tengah suasana malam yang semakin dingin, kukalungkan sarung di leher dan kunaikkan resleting jaket. Kutiupi bajigur panas sambil mendengar sayup-sayup suara beduk dari kampung tetangga. Sejenak kuperhatikan Embah Pendi. Ah, dia pun tampak kedinginan. Dia sempat terbatuk satu dua kali lalu seakan menahannya, menelan dahak dalam-dalam dan meneguk air bajigur.
Tak terasa, beduk telah ditabuh dan dibalas berkali-kali. Angin malam telah menusuk-nusuk tulang semakin dalam. Teko yang awalnya berisi bajigur penuh pun telah menjadi ringan, hanya berisi ampas jahe dan serasahnya. Kulihat ponsel, jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Kami masih menyimak balasan yang cukup lama dari kampung Sukalimas.
Suara beduk dari kampung Sukalimas akhirnya berhenti. Sekarang giliran kampung kami. Para penabuh lantas bergegas, kembali ke posisinya. Beduk-beduk kecil mulai disenandungkan diikuti tabuhan beduk-beduk besar. Tampaknya tabuhan kali ini menjadi paling keras yang digemakan. Mungkin inilah penghabisan sebelum tiba waktunya sahur.

Kulihat Embah Pendi melenguhkan lagi bebeluk-nya. Urat lehernya mengencang, mulutnya bergetar, dan matanya terpejam mengilhami. Suaranya melengking, membelah hamparan kebun luas, terbang bersama angin, mengembara menyampaikan pesan bahwa ini beduk-beduk kami. Dari beduk ini kami hidup dan dengan beduk ini kami membawa kemeriahan dan kebahagiaan menyambut hari raya. Adakah dari kalian yang ingin menjawab beduk kami? Sayang, tidak lagi ada jawaban hingga aku kembali ke perantauan. 

Monday 3 November 2014

Antara Awan dan Langit

Menikmati asap rokok yang hangat dan pemandangan di atas awan yang membentang luas seperti ini bisa kawan-kawan dapatkan di puncak Gunung Lawu..

Terjun Bebas

 
Kalian bisa temukan ini di Pantai Krakal, Gunung Kidul, Yogyakarta :)
 

Friday 31 October 2014

Naik Gunung dan Naik Haji

Naik Gunung dan Naik Haji
sebuah renungan penulis

Mungkin Newton bila pada saat itu konteksnya adalah pembawa ajaran atau risalah tuhan, jadilah ia nabi. Teorinya tentang aksi-reaksi yang menjelaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah suatu keseimbangan terbukti sudah di mana-mana. Ketika ada aksi terjadi pada suatu benda, keseimbangan selalu terjadi dengan adanya reaksi dari benda tersebut. Alamiah, natural, sunnatullah. Namun, Newton memang mungkin ditakdirkan bukan untuk menjadi nabi.
Orang-orang Indonesia yang mayoritas muslim selalu memercayai bahwa naik haji adalah suatu ritual sakral puncak rukun Islam. Hampir seluruh muslim Indonesia bercita-cita naik haji untuk menyempurnakan ibadah mereka. Frasa naik haji seakan menjadi tangga, di mana manusia melangkah untuk mencapai derajat spiritual yang “naik” atau lebih tinggi dari sebelumnya. Namun, sebagaimana dikemukakan di awal tulisan ini, teori Newton tentang keseimbangan (aksi-reaksi) selalu terjadi. Barang kali tidak semua orang Islam menyadari bahwa naik haji itu pekerjaan “naik” yang harus diseimbangkan dengan pekerjaan “turun”.
Apa yang dimaksud  dengan pekerjaan “turun” tersebut? Yaitu pekerjaan menurunkan atau merendahkan segala hal yang bersifat duniawi. Dalam perjalanannya mencapai kenaikan derajat spiritual, muslim yang melakukan ibadah naik haji harus menyeimbangkan kenaikan itu dengan merendahkan hatinya, merendahkan nafsunya, merendahkan segala kuasanya, untuk bisa dekat pada yang Maha Tinggi. Newton menjelaskan bahwa reaksi terjadi sebagai peristiwa alamiah oleh adanya aksi. Peristiwa alamiah ini adalah suatu kesempurnaan yang telah ditetapkan Allah sehingga menjadi sunnah-Nya (sunnatullah) karena semua yang hasil karya-Nya adalah kesempurnaan. Meskipun teorisasi Newton mungkin sebatas pada perkara fisik, tetapi maknanya bisa cukup kuat untuk menjangkau hal-hal nonfisik. Gambaran jangkauan teori Newton itu bisa dijelaskan dengan konsep haji mabrur. Orang-orang yang melakukan ibadah naik haji selalu mengimpikan bagaimana hajinya mabrur. Mabrur itu sendiri ditandai dengan adanya peningkatan ibadah daripada sebelumnya. Peningkatan ibadah ini sendiri menjadi suatu yang sempurna, sebagaimana sunnatullah, bila dibarengi keseimbangan merendahnya hati serta merendahnya nafsu duniawi.
Lantas, apa hubungannya dengan naik gunung? Naik gunung pun adalah sesuatu pekerjaan “naik”. Hal yang menjadi inspirasi penulis adalah bahwa naik gunung tidak sekadar pekerjaan melalui jalan terjal, membuka semak belukar, atau menikmati pemandangan alam. Ada faktor nonfisik yang mesti diperhatikan oleh para pendaki gunung, seperti harus menjaga sikap dan tutur kata saat melakukan pendakian. Secara tidak langsung, peraturan ini merupakan manifestasi dari teori Newton atau keseimbangan atau sunnatullah di mana ketika melakukan pekerjaan “naik” gunung, pendaki tidak boleh ikut bertingkah atau bertutur kata tinggi/sombong. Terjadilah reaksi “turun” ketika pendaki memberikan aksi “naik” gunung di situ. Naik gunung mengajarkan pendaki bahwa mereka sangat kecil saat menghadapi alam ciptaan-Nya sebesar gunung, setinggi gunung. Meskipun kemudian mampu menaklukkan gunung, mencapai puncaknya, mereka dapat melihat bahwa mereka tidak lebih dari segelintir debu dari cahaya mentari yang sangat indah dan hamparan alam luas yang antah-berantah. Pencapaian ketinggian gunung pun menjadi seimbang dengan perendahan hati, pengakuan kecil, pengakuan lemah manusia di hadapan ciptaan-Nya, apa lagi kelak di hadapan-Nya.

Katakanlah, salah besar bila naik gunung itu untuk mencari hiburan terlebih hura-hura. Naik gunung adalah ritual di mana manusia bisa menyatu dengan alam, mendengarkan suara angin, menjadi bisu dan terpejam bahwa Allah membisikkan sesuatu di telinganya, “Rendah hatilah”.

Quotes Film X-Men Days of Future Past (2014)

"Kalian ciptakan senjata ini untuk menghancurkan kami. Kenapa? Karena kalian takut pada anugerah kami. Karena kami berbeda. Manusia selalu takut pada hal yang berbeda."
(Magneto)

Thursday 30 October 2014

Quotes Film Automata (2014)

Di film ini, ada dialog yang menarik dari seorang manusia dan sebuah robot. Penulis rasa, percakapan ini adalah quotes terbaik minggu ini.


Robot: “Bertahan hidup tidaklah relevan. Hidup adalah: Kami ingin hidup.”

Jack Vauqan (manusia): “Hidup adalah: selalu berakhir menemukan jalan.”

Wednesday 29 October 2014

Quotes dari Biografi Driyarkara

Quotes Driyarkara dalam "Driyarkara Si Jenthu, Napak Tilas Filsuf Pendidik (1913 - 1967)"


“Saya percaya kepada semboyan neng – ning – nung – nang! Barangsiapa meneng, akan menjadi hening, dari hening orang menjadi hanung, dan dengan hanung kita menjadi menang.”

“Kekuatan Anda tidak bersumber dari kemampuan menulis, melainkan pada kemampuan memimpin – janganlah mencari pada sumber lainnya. Lewat kesederhanaan Anda (yang masih harus dikembangkan lebih lanjut) dan keterbukaan hati Anda, Anda akan mudah berhubungan dengan jiwa yang satu ke jiwa yang lain. Pada kontak dengan satu jiwa itu, di situlah sumber kekuatan Anda.”

“Mati sajroning urip, urip sajroning palastra. Muji ing Gusti”

“Kritik tetap harus berdasarkan rasio dan lawannya harus juga melawan dengan rasio, bukan dengan kekuatan fisik. Salah, kritik yang tidak dikendalikan lagi, tapi salah pula dan adalah kontra-demokrasi jika kritik dibungkam. Rias demokrasi adalah alam dialog, wawan rembug yang dijalankan dengan rasio. Yang perlu dipahami bersama ialah bahwa demonstrasi dan mogok mempunyai tempat dalam alam demokrasi.”


“Hidup itu suatu kegembiraan yang besar… Setiap kehidupan adalah gerak ke arah Tuhan.”

Tuesday 28 October 2014

Cuplikan Cerita Ramayana (sebuah perspektif dari Sujiwotejo dalam World of Wayang Kompas TV)



Cerita ramayana: sebuah mahakarya yang melegenda ribuan tahun lamanya. Dengan cara penyajiannya, Sujiwo Tejo mampu membangkitkan lagi kerinduan penonton pada kuatnya makna puisi dan jiwa.

Rahwana meyakini bahwa Sinta adalah cintanya. Namun, Sinta telah bertemu Rama dan menjadi istrinya. Rahwana yang cintanya begitu agung menculik Sinta dan menjadikannya sebagai tawanan. Perang pun berkecamuk di antara Rahwana dan Rama. Sinta menyiapkan keris untuk bunuh diri bila sampai disentuh Rahwana, tetapi Rahwana lalu meyakinkannya, "Sinta, tak usah kau sentuh keris itu karena aku hanya akan menyentuhmu bila kau sudah mencintaiku." 

Sekian lama berperang, prajurit dan rakyat Rahwana seluruhnya mati. Dalam kesempatan terakhir, sebelum Rahwana melawan jutaan bala tentara Rama, ia berpamitan pada Sinta. Sinta pun memelas.
Sinta: "Rahwana, minta maaflah pada suamiku tak usah kau berperang karena suamiku adalah sang pemaaf."

Rahwana: Hei Sinta, tidak ada yang salah di dalam cinta. Aku memang salah di dalam sosial, salah di dalam tatanan, karena itulah aku mnta maaf pada suamimu, tetapi bukan minta maaf karena aku mencintaimu. Aku minta maaf karena menculikmu dengan perang.

Sinta: Tapi kau hanya sendiri, prajurit dan rakyatmu sudah mati. Kau bisa mati. Sudahlah kau hentikan perang.

Rahwana: Hei Sinta, dengan segala hormat, prajurit-prajuritku sudah mati, rakyatku sudah mati, kini kau memintaku menghentikan perang, lantas raja macam apa aku?

Rahwana pun pergi ke medan perang, tapi Sinta memegang pundaknya. Rahwana dgn mukanya pun menoleh dan bertanya, "Apakah ini pertanda kau sdh mencintaiku?"

Sinta hanya terdiam dan menitikkan air mata.

Rahwanan pergi berperang dan gugur sebagai kusuma atas cintanya.

Rahwana hanya berucap, "Tuhan, jika cintaku terlarang, mengapa kau bangun megah perasaan ini di dalam sukma."


....Gugur bunga gugur ke samudera

....Gugur cinta ke lautan rindu

Monday 27 October 2014

TAMU

Hai cinta kemarilah
Mampirlah dulu di hatiku
Duduklah terlebih dahulu
Cicipi apa yang kusajikan

Hai cinta bersabarlah
Ngobrollah dahulu denganku
Akan kuceritakan padamu
Sesuatu yang sungguh menarik

Hai cinta mengertilah
Hatiku sudah cukup lelah
Sekarang ajari aku
Berbagai ilmu dan jurusmu

Hai cinta terima kasih
Kau sudah mampir di lubuk hati ini
Mengajariku berbagai pengalaman

Lain kali datanglah lagi