Sunday 29 May 2016

Ibu, Sosok yang Melintasi Batas Kelemahan Manusia



















I love my mom, Gunung Lawu 1-12-2013. Kuperlihatkan foto ini pada ibu beberapa waktu setelah pendakian Gunung Lawu. Ia malah berkata, "Kenapa wajahmu merah begitu?" Mungkin ia malu untuk mengomentari tulisan di atas kertas. Foto oleh Hanif Junaedi Adi Putra.




Sebuah Kronologi –


Namaku Soni Mijaya. Tulisan ini menceritakan sebuah kisah saat usiaku hampir 25 tahun. Asalku dari Pandeglang, Banten. Dalam program Patriot Energi aku ditempatkan di Desa Pembeliangan, Kecamatan Sebuku, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.

Bukan Pandeglang, Kediri (tempatku sekolah), atau Jogja (tempatku kuliah) tempat yang menyaksikanku menangis panjang untuk hal ini. Adalah sebuah desa di seberang pulau yang jauhnya ribuan kilometer dari asalku, desa yang bernama Mansalong di Kalimantan Utara yang menjadi saksi bisu malam itu. Saksi bisu akan perasaan sedih, kecewa, bersalah, lelah, bingung, dan takut karena sebuah kabar: ibu meninggal dunia.

Tulisan ini kubuat dua bulan setelah berlalunya ibu sehingga kurasa sudah cukup reda perasaan ini kalau mengingat-ingatnya kembali. Malam itu, 13 Maret 2016 waktu menunjukkan hampir pukul 12. Aku baru saja selesai mengobrol dengan Pak Rudi, bapak sekretaris camat Sebuku di ruang televisinya. Kami asyik mengobrolkan banyak hal, mulai dari ide-ide Pak Rudi jika pemekaran kabupaten Bumi Daya Perbatasan (BDP) telah disahkan sampai perkembangan olahraga tinju bebas di Indonesia yang dipantau salah satu stasiun televisi swasta. Temanku, Rico sudah pulas terlentang di kamar.

Aku dan Rico tiba di rumah Pak Rudi sehari sebelumnya. Tugas kami di desa masing-masing telah selesai sehingga berencana mengunjungi desa lokasi Patriot lainnya yang ada di wilayah III Kabupaten Nunukan. Beberapa hari sebelumnya telah kami habiskan di desa lokasi Din dan Nanda, mengikuti mereka melakukan sosialisasi tentang PLTS, dan mengenal serta bermain voli bersama para warga di sana. Setelah dari lokasi Din dan Nanda, kami berencana mengunjungi desa Sumentobol, tempat Makruf dan Anggun berada. Selanjutnya, bersama-sama secara serempak kami bisa meninggalkan Kalimantan karena beberapa hari lagi masa tugas mereka pun telah selesai.

Desa Sumentobol merupakan salah satu desa di hulu sungai Sebuku yang cukup terisolasi. Tidak ada sinyal, tidak ada akses yang mudah untuk ke sana. Jalur yang harus ditempuh untuk sampai ke sana adalah sungai yang punya banyak jeram. Perahu yang digunakan pun adalah perahu panjang dengan mesin dan kapasitas terbatas. Aku dan Rico singgah di rumah Pak Rudi dalam rangka menanti perahu tersebut. Dan malam itu adalah hari kedua kami di rumah Pak Rudi karena kami belum juga mendapatkan perahu. Besok kami akan menengok kembali pangkalan perahu.

Namun, rencana tinggal rencana. Takdir berbicara lain. Saat aku masuk kamar, kulihat ada beberapa missed call dari kakakku. Firasatku mengatakan ini musibah karena tak pernah sekali pun ia menelepon pada saat larut malam. Maka, seketika itu pun kutelepon kembali nomornya.

Lututku lemas saat telepon diangkat di ujung sana. Yang kudengar hanya isak tangis yang tak henti-henti sambil mengatakan, “Encon, mamah Encon. Mamah meninggal.”

Aku masih sadar untuk mengatakan, “Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.” Kupandangi dinding kayu bekirai dari kamar yang mengurungku. Telepon genggam masih melekat di telingaku dan suara isak tangis di ujung sana masih meraung-raung. Sebagai lelaki yang paling tua, aku coba menguatkan kakak perempuanku, memintanya bersabar, dan menyebut asma Allah.
Aku masih ingat betul malam itu, meski perasaanku sendiri kacau tapi kucoba untuk tidak membuat suasana keluarga semakin larut dalam kesedihan. Kucoba untuk meyakinkannya bahwa aku cukup tabah mengahadapi ini, sendirian di daerah yang sangat jauh dari kampung halaman. Kutunggu kakak mereda beberapa menit dari telepon dan kututup telepon saat suara tangisnya mulai merendah.

Telepon kuletakkan kembali di tempat semula. Rico telah pulas tertidur di tempat tidur. Segan kubangunkan dia meski dalam keadaan begini. Biar kunikmati ini sendirian. Kusandarkan kening di dinding kamar dengan tangan yang menopang. Kulepaskan semuanya dari pikiran yang kalut, hati yang hancur, dan raga yang lemas.

Tetes-tetes, air mata jatuh dari kelenjar yang kempis dan kembung selebar-lebarnya. Asin air mata dan ingus yang mengalir ke mulut terasa pahit di dadaku. Kurasa pahit untuk mengenangkan bahwa ibu yang hanya satu kumiliki di dunia ini meninggal di usia 44 tahun, tanpa disangka, tanpa dimengerti. Kurasa kecewa karena perpisahan ini terjadi tanpa ucapan selamat tinggal dan berada di sisinya. Kekhawatiran yang semula hinggap di diriku akan nenek yang telah sering sakit-sakitan ternyata terbantahkan oleh kenyataan ini, anak perempuannya telah mendahului dirinya.

Telepon kembali berdering, kuusap mataku dan kutahan isak tangis sebaik mungkin. Bapak berbicara di ujung telepon dan mempertanyakan apa yang akan kulakukan. Kubilang aku akan pulang hari ini juga. Paling cepat besok malam aku bisa tiba di rumah. Bapak pun meminta izin padaku untuk memakamkan ibu siang hari itu juga sehingga aku tidak akan punya kesempatan melihat lagi wajahnya. Aku hanya menjawab, “Iya, kasihan mamah. Segera dimakamkan saja.” Tangis berlanjut entah untuk berapa lama waktu berselang hingga pagi tiba tanpa kuketahui.

Kuceritakan pada Rico apa yang terjadi tadi malam. Sebagai sahabat seperjuangan, ia begitu hangat padaku, memintaku untuk bersabar dan menerima semuanya dengan hati yang lapang. Keluar kamar, kudapati Bu Sekcam dan menceritakan bahwa ibuku telah meninggal. Kubilang membatalkan kepergian ke Sumentobol. Setelah memberikan wedang uwuh dan kain batik dari Jogja pada ibu dan bapak Rudi, aku berpamitan. Masih kuingat raut wajah mereka yang terkejut dan prihatin kepadaku. Sempat beberapa pertanyaan kujawab singkat. Mereka pun bisa mengerti. Kuusapi kepala Aiman, adik kecilku yang manis. Sayang, meninggalkan keakraban kami dalam keadaan begini. Rico mengantarkanku ke pelabuhan Malinau pagi itu juga. Ia sempat memotretku dari belakang saat aku melangkahkan kaki ke speedboat. Sampai jumpa, Sahabat.

Aku tahu pikiran dan hatiku masih kacau. Tiga jam perjalanan melintasi sungai dan laut membuat pikiranku berkecamuk, tentang kenyataan baru ini, tentang kenyataan-kenyataan baru yang akan kuhadapi. Namun, yang terjadi selanjutnya adalah “aku hanya tidak peduli”. Aku tidak peduli bagaimana caranya pulang dari pedalaman Kalimantan, ada atau tidak pesawat yang membawaku hari itu juga, berapa biaya yang harus kebayar, berapa besar sakit yang harus kutanggung, berapa banyak kebingungan-kebingungan yang menghantuiku atas pernyataan-pernyataan yang menyayat hati: itu dia ibumu, yang biasa memasakkan makanan untukmu di rumah, yang biasa menantikanmu dalam tangis ketika kau tiba di rumah setelah lama di perantauan, yang sering kau memanja padanya untuk mengerok punggungmu kalau kau masuk angin atau mengusapkan minyak kayu putih, yang biasa duduk di tengah rumah sambil minum teh, dan besok atau lusa akan seperti biasanya tetapi tidak untukmu.

Sepanjang perjalanan, aku hanya berdoa, berdoa, dan berdoa untuknya. Berulang kali mata berkaca-kaca, berulang kali pula kuusap. Aku hanya ingin tidur dan semoga bertemu dengannya dalam mimpi sehingga aku yang banyak bersalah ini bisa meminta maaf, mengucapkan selamat tinggal padanya, tetapi tak bisa. Begitulah perjalanan sepanjang Kalimantan hingga aku tiba di Jakarta. Keadaan semakin sendu saat bibiku menjemput di bandara dan kami duduk di rest area berbincang banyak apa yang terjadi selama aku di Kalimantan.

Setiba di rumah, orang-orang masih ramai padahal jam sudah menunjukkan pukul 00.30 WIB. Mereka bergadang, menunggui rumah sambil mengobrol atau m0engaji. Semua adalah saudara-saudara ibu, kakek, nenek, bapak, dan adik-adikku. Tangis tak bisa dicegah lagi untuk pecah di situ, di rumah kami. Aku tak mau meraung, aku meyakinkan mereka bahwa aku cukup tegar. Aku pun sedih, tetapi biarlah semua telah ditentukan.

Kudengar cerita demi cerita bagaimana semuanya terjadi. Mereka yakin bahwa sebenarnya ibu telah diberi kesempatan kedua setelah bulan Desember tahun 2015 hampir saja tak bisa lagi “bangun”. Aku ingat bulan itu aku masih di desa Pembeliangan dan ditelepon bahwa ibu sedang dirawat di rumah sakit karena diabetes dan gejala liver, tetapi tidak lama berselang ibu sudah bisa dibawa pulang lagi ke rumah.  Meskipun aku juga sempat kaget karena saat melepas kepergianku ke Kalimantan ibu masih sehat dan bugar, tapi syukurlah ibu tak lama dirawat di rumah sakit.

Tidak ada yang menyangka juga bahwa ibu akan wafat karena sebelumnya keadaan ibu sudah mulai pulih. Ibu juga tidak pernah meninggalkan pesan apa-apa yang biasa menjadi pesan terakhir bagi orang yang akan meninggal. Keluargaku hanya bisa berserah bahwa semua terjadi karena takdir semata. Dan maut, bila Tuhan telah berkehendak maka tak bisa dipercepat atau diperlambat.

Bapak bercerita bahwa pada hari ibu meninggal, ibu seperti biasa dalam perawatan. Makan malam ibu disuapi oleh adik laki-lakiku lalu beristirahat di tempat tidur. Semuanya biasa saja sehingga adikku pergi main keluar dan bapak tidur di sebelah ibu. Namun, tiba-tiba saja nafas ibu seperti tersengal sekitar pukul 10 malam sehingga bapak terbangun. Bapak mendekatkan mulutnya ke telinga ibu untuk melafadzkan kalimat-kalimat syahadat. Bapak mulai berkaca-kaca karena ibu sempat kejang-kejang dan terlelap untuk selamanya.

Segera setelah itu bapak meminta bantuan para tetangga dan membawa ibu ke rumah sakit. Bapak hanya ingin memastikan apakah ibu “masih ada” ataukah tidak. Bantuan kejutan pun dilakukan, tetapi tak berdampak apa pun. Dokter pun memberi tahu bahwa ibu telah tiada. Kemungkinan besar meninggalnya adalah serangan jantung. Saat itulah kakak meneleponku.



Sunday 22 May 2016

Kawanku Melamar Seorang Gadis

Sepanjang hari, fajar menyeruak di ufuk timur mengawal datangnya hari yang baru. Adakah posisi bumi terhadap matahari sang pembawa fajar meleset dari orbitnya hingga tadi pagi atau kemarin fajar terbit dari ufuk barat? Adakah semua ini berjalan secara kebetulan? Foto diambil di Sebuku, Nunukan, Kalimantan Utara. Foto oleh Soni Mijaya.

Kemarin siang, seorang kawan dekat dengan usia terpaut dua tahun lebih tua melamar seorang gadis Jogja. Ah, aku kenal mereka berdua hampir dua tahun terakhir ini. Sungguh, tak kusangka kalau mereka sedekat itu dan berakhir dengan lamaran dan pernikahan. Tak banyak pertemuan yang kusaksikan karena kawanku kutahu betul, ia tinggal satu atap bahkan satu kamar denganku. Tak pernah juga kudengar cerita-cerita tentang sang gadis. Bahkan, yang sering kudengar adalah kisah gadis yang lain beberapa bulan sebelumnya (sebelum aku pergi ke Kalimantan). Sungguh, tak kusangka.

Melewati perjalanan selama satu jam pada Jumat siang yang cerah, mobil membawa rombongan kami menuju Kulonprogo, rumah sang gadis, dari jalan Ringroad barat menuju jalan Wates – Purworejo. Sekitar setengah jam melintas di jalan utama, mobil masuk ke dalam jalan kecil yang ternyata cukup dalam dan bertebaran hutan di kanan kirinya selama setengah jam berikutnya. Begitu dalam, begitu pelosok rumah sang gadis, pikirku. Namun, hal ini justru menimbulkan gairah ilham di alam pikiranku.

Kawanku, Bayu Sutrisno namanya, seorang Jawa yang tampan menurut pandangan umum. Ia berasal dari Bojonegoro, sebuah kabupaten di Jawa Timur yang kurang lebih mirip keadaannya dengan Kulonprogo. Ia berasal dari kampung yang dalam, penuh dengan hutan dan tambang-tambang tradisional peninggalan zaman kolonial. Meskipun aku belum pernah ke rumahnya, tapi berdasarkan cerita kawan yang lain, pelosok juga keberadaanya.

Di dalam jiwa dan pikiranku akhirnya semakin menguat kesimpulan-kesimpulan ini. Siapa kita yang sanggup melawan perasaan di dalam sukma terhadap seseorang? Siapa kita yang manusia kecil di antara semesta yang luas ini mampu menyangka bertemu jodoh dari kampung nan jauh di sana dengan kampung nun jauh pula di sini? Siapa kita yang akhirnya hanya mampu tersenyum dan semakin yakin bahwa pertemuan ini telah diatur, telah dirancang, dan telah ditentukan kapan dan bagaimananya? Siapa kita, kalau bukan hanya seorang hamba yang berada di bawah kehendak-Nya.

Akhirnya, proses lamaran berjalan dengan lancar. Lamaran telah diterima. Dua keluarga telah dipertemukan. Sepasang kekasih telah bertukar senyuman. Doa-doa telah diucapkan. Tanggal pernikahan pula telah ditetapkan. Dari persaksian ini, aku banyak belajar. Kupikir, sebenarnya anugerah Tuhan yang bernama cinta itu adalah suci. Hanya, tinggal bagaimana manusianya yang menuntun anugerah itu ke arah mana. Dan Bayu sudah menunjukkan padaku mewahnya kesucian itu dalam cara yang mulia.


Sepanjang perjalanan pulang, tampak olehku mentari sore tampak bulat penuh bersarang di atas bukit Menoreh. Lamat-lamat dalam hati aku menginsyafi bahwa sampai saat ini, anugerah Tuhan yang suci itu belum kuperlakukan seharusnya. Entah, mungkin masih panjangkah perjalanan hidup ini atau kah memang belum saatnya kudapati keyakinan. Aku berserah.

Thursday 19 May 2016

Amat Idang

Tiang-Tiang Jaringan Listrik. Akhirnya pada tahun 2015, tiang-tiang jaringan distribusi listrik berdiri tegak di antara lebatnya hutan Desa Pembeliangan. Jaringan listrik tersebut mendistribusikan energi listrik dari PLTS dan PLN melalui sistem hybrid. Foto oleh Soni Mijaya



Hari itu adalah hari Kamis, 29 Oktober 2015, satu minggu sejak kedatanganku untuk sebuah program di Desa Pembeliangan, Kecamatan Sebuku, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Aku duduk di sebuah kursi panjang di teras kantor desa. Urusan administrasi dan perkenalan tentang program pendampingan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan kepala desa telah selesai. Meskipun cara penuturan bahasanya tidak biasa bagi perasaanku, tetapi aku cukup diterima olehnya. 

Beberapa perangkat desa tampak sibuk berjalan kesana kemari. Hampir tak kuhirauhkan mereka karena pikiranku masih melayang mencari cara agar mendapatkan tempat tinggal untuk lima bulan ke depan. Kepala desa maupun sekretarisnya juga tidak bisa memberikan jalan keluar, baik berupa kos atau sewa rumah. Selama satu minggu lebih ini, aku tinggal di rumah seorang sekretaris camat di desa lain yang ditempuh selama 2 jam perjalanan darat. Terlalu berat bagiku jika harus berangkat setiap hari dengan kendaraan yang belum pasti ada. Di tengah lamunanku, tiba-tiba seorang bapak setengah baya menghampiriku.

“Mas.” Dia tersenyum sambil duduk di sebelahku dengan memegang selembar kertas seperti peta.

Kami pun berkenalan. Bapak berperawakan besar dengan kumis tebal yang rapi itu adalah ketua RT 3 sekaligus orang yang ditugaskan kepala desa untuk mengurus pembangunan PLTS di desa. Mengetahui aku adalah orang dari Jawa yang ditugaskan untuk pendampingan PLTS, alih-alih ia berbicara tentang PLTS, ia malah banyak bercerita tentang keadaan di desa. Dengan antusias, ia gambarkan bagaimana keadaan Desa Pembeliangan, termasuk kekayaan hutan, sungai, udang, ikan, lahan, dan potensi-potensi besar lainnya yang belum dikembangkan secara maksimal. Ia juga bercerita bahwa ia memiliki kelompok di RT-nya yang berfungsi layaknya koperasi meskipun tidak bersifat resmi. Tampaknya, ia ingin potensi-potensi tersebut diketahui orang pendatang sepertiku.

Banyak informasi yang kuperoleh darinya. Hal itu memudahkanku untuk mengenal lebih dekat desa Pembeliangan. Selanjutnya, aku kembali lagi pada kegundahanku. “Ada kah tempat tinggal yang bisa kutempati di desa untuk lima bulan ke depan, Pak?”

Ia mengernyitkan dahinya beberapa saat. “Wah, maaf sepertinya tidak ada, Mas.” 

Baiklah, bertambah besar kekhawatiranku karena sudah tiga orang perangkat desa yang kutanyai mengenai tempat tinggal memberikan jawaban serupa. Akhirnya, setelah bertukar nomor ponsel dengannya aku pun pulang. 

Seminggu kemudian, aku belum bisa beranjak ke desa Pembeliangan lagi karena terkena penyakit yang sangat mengganggu. Seminggu lamanya pergerakanku terbatas di dalam rumah. Beruntung bagiku Bapak sekretaris camat adalah orang yang sangat baik. Ia merawatku layaknya anak sendiri hingga sungkan rasaku terus tinggal di rumahnya. Di hari ketika penyakitku berangsur-angsur pulih, ponselku berdering. Pak RT menelepon.

“Halo, Pak.”

“Halo, Mas Soni. Sekarang Mas Soni di mana?”

“Di Mansalong, Pak. Ada apa, Pak?”

“Wah, jauh benar tinggalnya. Mas Soni ke sini saja. Lebih baik tinggal di rumah saya, ya meskipun kondisi rumah saya seadanya. Kebetulan ini kontraktor PLTS juga baru tiba dan tinggal di rumah saya. Bagaimana, Mas?“

Seperti mendapatkan angin segar yang kutunggu-tunggu sekian lama, kontan aku langsung saja mengiyakan ajakannya. “Baik, Pak. Besok saya berangkat ke Pembeliangan ya.” Sebenarnya sedikit terbersit dalam benakku mengapa Pak RT mengajakku tinggal di rumahnya setelah seminggu yang lalu ia tidak memberikan kesempatan. Pikiran ini pun kusimpan dulu. Suatu saat kemudian akhirnya kutemukan sendiri jawabannya.

Keesokan harinya, aku sudah tiba lagi di desa Pembeliangan dengan membawa barang-barang perlengkapan. Rumah Pak RT memang lazimnya rumah warga lainnya di sini, berupa rumah panggung kayu, tetapi ada kesan yang menarik di sini. Di depan rumahnya ada sungai kecil yang ditumbuhi dengan teratai dan rerumputan rawa. Sebuah jembatan kayu membentang di atasnya, menyuguhkan sebuah rumah panggung cantik berwarna biru di ujungnya. Sederhana memang, tak ada kemewahan dari bahan-bahan yang mahal, tetapi kesan yang diberikan adalah keelokan alam. Aku bertemu Pak RT dan orang-orang kontraktor PLTS di sana. Aku dan para kontraktor sebanyak tiga orang dipersilakan tinggal di tengah rumah untuk meletakkan barang-barang juga beristirahat. Kami dipinjami kasur lantai dan beberapa bantal untuk beristirahat. Tidak ada kamar mandi di rumah Pak RT. Yang ada hanyalah sebuah tempat mandi terbuka di samping rumah dan sebuah WC “alam” dengan jarak agak jauh dari rumah. Dari rumah amat sederhana ini lah pengalaman hidup yang berarti dimulai.

Selama pembangunan PLTS, hampir setiap hari Pak RT, aku, dan para kontraktor pergi ke lokasi pembangunan PLTS. Kontraktor melakukan pembangunan PLTS sebagaimana mestinya. Pak RT dan aku kadang hanya memantau dari sekitar, tetapi tidak jarang juga ikut andil dalam pekerjaan fisik pembangunan PLTS. Setiap saat jam makan, baik pagi, siang, atau pun malam Pak RT selalu mengajakku untuk makan bersama.

Setelah satu minggu tinggal di rumah Pak RT, aku bingung karena tidak pernah membayar makanan. Bapak atau pun Ibu RT tidak pernah membicarakan sebelumnya jika harus membayar setiap kali makan atau berapa harganya. Akhirnya kuputuskan bertanya pada kontraktor yang setiap hari juga makan makanan yang sama denganku.

“Mas, selama ini makan di rumah Pak RT bagaimana ketentuannya?” Tanyaku pada salah satu dari tiga orang kontraktor yang tinggal bersamaku.

“Oh itu bayar per menu Rp 15.000, Mas.” Jawabnya.

Astagfirullah. Aku tak tahu jika ada ketentuan tersebut. Maka, setiba di rumah Pak RT aku langsung menuju dapur dan menemui Bapak dan Ibu RT. 

“Pak, Bu, mohon maaf saya sudah seminggu tinggal di sini dan makan seenaknya saja tanpa membayar.” Kataku penuh penyesalan. Langsung kusambung lagi, “Mungkin ini sedikit biaya untuk belanja makan sehari-hari, Pak, Bu.”

“Wah Mas Soni, tidak usah. Benar-benar tidak usah. Kalau untuk makan tidak usah bayar. Kami sudah biasa. Kalau ada yang bisa dimakan ya alhamdulillah, kalau tidak ada ya tidak bisa makan. Tidak perlu membayar Mas Soni.”

Aku semakin bingung. Tadi kontraktor berkata jika mereka membayar. Sekarang aku ingin membayar tapi Bapak tidak mau. Kemudian sedikit kupaksakan untuk tetap membayar. Namun, Pak RT semakin tidak ingin juga untuk dibayar hingga akhirnya aku menarik diri, khawatir jika membuat Pak RT tersinggung.

“Benar, tidak perlu Mas Soni. Kalau sedang ada makanan ya alhamdulillah ada yang bisa dimakan.”

“Aduh, Bapak. Saya tidak tahu harus mengucapkan apa lagi selain terima kasih.” Maka sejak saat itu, aku bagaikan menemukan ayah dan ibu kedua, keluarga baru di sebuah tempat antah-berantah yang bahkan tak kukenal sama sekali sebelumnya. Adalah hati nurani yang ikhlas dan tulus jawaban atas pertanyaanku mengapa aku ditelepon saat itu untuk tinggal di rumah Pak RT.

Hari-hari selanjutnya kulalui hampir selalu bersama-sama Pak RT. Selain mengunjungi lokasi pembangunan PLTS, ia sering mengajakku pada acara-acara kemasyarakatan, seperti rapat desa, pembacaan doa selamat orang yang meninggal, bayi yang baru lahir, pendataan warga, hingga gotong royong acara adat. Ia bahkan beberapa kali mengajakku ke hutan rimba di desa yang memiliki luas wilayah 70.000 ha ini untuk menunjukkan padaku segelintir orang yang rela tinggal berbulan-bulan lamanya di hutan untuk menjaga hutan dari eksploitasi. Tampak terlihat olehku setiap orang yang kami temui begitu menaruh rasa hormat kepada Pak RT, baik warga RT 3 atau pun RT lain.


Pembuatan Perahu Panjang Adat Irau.  Para warga bergotong royong membuat perahu panjang untuk perayaan acara Adat Irau yang diselenggarkan satu tahun sekali. Tampak pada foto, Pak RT yang mengenakan tutup kepala dan mandau adat suku Tidung memahat kayu untuk menjadi badan perahu. Foto oleh Soni Mijaya


Pada suatu malam, ketika listrik dari PLTD desa telah padam pukul 24.00 WITA (listrik PLTD desa hanya menyala dari pukul 18.00 s.d. 24.00), aku dan Pak RT masih duduk-duduk di teras rumah sambil menikmati segelas teh panas.

“Kenapa tidak berkebun sayur-mayur, Pak?” Tanyaku malam itu. Kulihat banyak lahan Pak RT yang tertidur, tak termanfaatkan secara maksimal. Jika saja dimanfaatkan untuk sayur mayur, akan ada tambahan penghasilan untuk keluarga Pak RT.

“Dulu aku dan ibu bertanam sayur-mayur, Son. Kau bisa lihat bekas-bekas bedengannya di kebun sawit. Namun, sejak menjadi ketua RT tidak ada lagi waktu luang buatku berkebun sayuran. Padahal, dengan berkebun sayuran dulu aku bisa membangun rumah ini dan bisa saja menguliahkan anakku yang pertama jika ia tak memilih langsung menikah.”

“Memang sejak kapan jadi ketua RT 3, Pak?”

“Sudah lama, mungkin belasan tahun sudah lamanya aku menjadi ketua RT. Sebenarnya sudah cukup lelah aku menjadi ketua RT, tetapi apalah daya wargaku hanya ingin aku yang menjadi ketua RT. Kau lihat sendiri kan, semua ketua RT diganti setelah kepala desa yang baru dilantik beberapa bulan lalu, terkecuali aku. Tak tahulah aku juga Son, kenapa warga tidak mau memilih orang lain.”

“Mungkin karena sudah sangat percaya pada Bapak.” Aku menukas.

“Entahlah. Rumah ini dari dulu selalu didatangi orang-orang dari jauh, ada yang membangun rumah sakit, PLTD, PAM, dan sekarang PLTS padahal ada rumah kepala desa atau pun kantor desa.”

“Rumah sakit yang di pinggir jalan sebelum lokasi PLTS itu, Pak?” Aku ingat ada rumah sakit Pratama yang sedang dibangun beberapa puluh meter sebelum lokasi PLTS.

“Iya, Son. Dulu aku yang mengurus pembukaan lahan hutan di lokasi rumah sakit tersebut sampai pengerukan dan perataan tanahnya. Mungkin orang-orang berpikir ketua RT 3 ini banyak uangnya. Padahal, tugas tersebut dipasrahkan padaku karena tidak orang lain yang mau, tidak ada uangnya. Tanah-tanah timbunan dari pengerukan lahan kupersilakan pada warga untuk mengambilnya cuma-cuma asal mereka ada truk pengangkut. Itu pun masih ada warga yang berprasangka buruk bahwa aku menjual tanah hasil kerukan tersebut.” 

“Kenapa ya Pak masih ada yang berprasangka buruk begitu?”

“Ya begitulah warga di sini, Son.” Pak RT menghembuskan asap-asap rokok sambil bersiap meneruskan bicara. “Faktor pendidikan yang terbatas, wawasan yang kurang, dan pergaulan yang sempit barang kali adalah penyebabnya. Lumayan lebih baik saat ini pendidikan dari SD sampai SMA sudah ada di wilayah kecamatan. Dulu, untuk bisa sekolah SMP dan SMA kami harus ke luar wilayah dan tinggal di sana dengan indekos atau mengontrak rumah. Aku sendiri dulu sekolah SMP dan SMA sambil berjualan. Pulang sekolah, aku berjualan untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah. Enam tahun lamanya aku sekolah dan belum pernah sekali pun aku pulang demi pendidikan saat itu.”

Aku membayangkan betapa sulit hidup zaman itu di sini. Jalan belum ada, alat transportasi mungkin hanya melalui sungai, terlebih lagi listrik karena saat ini saja listrik hanya bisa menyala beberapa jam di malam hari. Gelap gulita semua yang tampak.

“Maka kami benar-benar bersyukur akhirnya setelah sekian lama merdeka listrik bisa masuk juga ke desa kami.” Pak RT melanjutkan. “Bayangkan, bertahun-tahun lamanya kami hidup tanpa penerangan lampu. Bantuan PLTD desa dari Pemda juga belum lama beroperasi, beberapa tahun ini saja. Sebelumnya hanya lampu minyak yang kami gunakan. Sedangkan harga minyak di sini dua kali lipat dari harga minyak di Jawa.” Ia tertawa.

Aku hanya bisa terdiam membisu, turut prihatin dengan keadaan yang timpang ini. Aku jadi ingat bagaimana listrik setiap saat bisa dinikmati di kota. Ketika mata terpejam dan lampu kamar tidur masih menyala di sana, anak-anak di sini untuk belajar di malam hari harus bersusah payah mendekati pelita yang dikerumuni kelekatu. Ketika mal besar berkilauan dengan jutaan watt daya di sana, para warga di sini harus meraba-raba dalam kegelapan untuk sekadar membuang hajat. Saat gegap gempita lampu sorot dan sound system setiap malam menggelegar di sana, orang-orang di sini hanya bisa merayakannya dengan sepi dan sunyi senyap yang mencekam. 

Waktu pun berlalu begitu cepat. Pembangunan PLTS telah selesai. Kontraktor telah pulang, pemasangan instalasi sedang dilakukan. Masa tugasku pun telah usai. Tak ada perpisahan yang tak menyedihkan, karena tak ada manusia di jagat raya ini yang bisa menjanjikan waktu pertemuan kembali di masa yang akan datang. Mungkin air mata tak bisa mengobati kesedihan ini, tetapi paling tidak bisa memberikan sedikit rasa lega meski tanpa alasan. Pelajaran yang tak pernah kulupakan dalam program ini adalah mengenal seorang ketua RT, pahlawan tak dikenal yang tulus dan sabar mengurus warganya dan bekontribusi besar dalam pembangunan desanya, bapakku Amat Idang.

PLTS Hybrid Desa Pembeliangan. Pembangunan PLTS hybrid di desa Pembeliangan dengan kapasitas 100 kwp (kilo watt peak) selesai dalam waktu tiga bulan. Normalnya, PLTS berkapasitas 100 kwp bisa melistriki sekitar 500 rumah khusus untuk penerangan. Foto oleh Soni Mijaya




Thursday 12 May 2016

Yang Sempat Mati Suri

Lilin-lilin peneman makan malam di sebuah kafe di sudut Ciputat, Tangerang Selatan. Foto oleh: Soni Mijaya

Lama sudah aku tidak menulis. Akhirnya kulakukan lagi aktivitas yang kusukai tetapi selalu berat untuk dimulai ini. Selalu saja segala seuatu itu membutuhkan momentum, entah, seperti tulisan ini yang telah mendapatkan momentumnya, kupikir. Atau adakah sesuatu yang terjadi tanpa momentum? Barang kali kau tahu, maka aku perlu mengerti.

Hampir satu tahun ini, telah terjadi dalam kehidupanku yang semakin rumit dan tidak membahagiakan – yang kumaksud adalah tidak membahagiakan seperti halnya hidupku saat-saat TK dan SD – momen-momen yang kuyakini tak dapat kulupakan selama perjalanan hidupku selanjutnya, tentunya asalkan aku tidak mendapat serangan amnesia berat.

Dalam taraf ini, aku akhirnya mengalami lagi hal yang secara mudah kusebut sebagai “loncatan hidup”. Ya, loncatan kusebut. Karena ada perpindahan dari suatu posisi ke posisi lain yang lebih jauh/tinggi. Posisi ini bagiku adalah hal yang sangat universal. Seperti kata capaian yang bisa digandengkan menjadi frasa capaian intelektual, capaian tenaga, dan capaian jaringan, atau bahkan lebih absurd lagi seperti capaian kedewasaan, beitulah posisi ini kutempatkan. Pada intinya, posisi ini berpindah. Seperti tanjakan, posisi ini justru cenderung menuju arah yang lebih tinggi dan kompleks, terjal dan lebih berat.

Loncatan ini mirip dengan saat hijrahku dari bangku SMA ke bangku kuliah, dari ruang kelas ke sekretariat, dari firman Tuhan ke pemikiran ilmuan, dari teori buku ke realitas sosial, dan dari domain ke domain yang lainnya. Aku yakin kau pun mengalaminya, menerima dan memaknai loncatan-loncatan itu dengan bentuk, cara, dan hasil yang berbeda. Kadang ada romantika yang berdrama, kadang pula tak sedikit dialektika yang berdialog di sana.

Aku atau kau menjadi orang yang bertemu dengan, menemukan, berpisah, meninggalkan, ditinggalkan, berbicara, mendengarkan, terhegemoni, memengaruhi, dan seterusnya. Semuanya dibungkus oleh package bernama waktu, dan waktu itu semua telah sepakat: tak terasa cepat berlalu. Dan yang menurutku paling istimewa adalah bukan aku atau kau yang menjadi seperti apa setelah melalui suatu dimensi waktu, tetapi bertemu dengan mereka, orang-orang itu yang hendak kuceritakan dan layak dikisahkan apa adanya di halaman-halaman selanjutnya.

Maka dalam kesempatan ini, kucoba menampilkan kembali hasil rekaman yang berserakan di lembar-lembar buku saku dalam loncatan hidup setahunan ini. Kuharap, untuk tahun-tahun berikutnya pun semoga aku sanggup untuk istiqomah merekam pelajaran-pelajaran berharga bertemu dengan mereka. Bukan untuk apa-apa, aku cukup senang jika hidangan ini menjadi salah satu menu dari kudapan yang biasanya sehari-hari kau cemili, habiskan, atau hanya dipandangi saja saat diet, ketika kau di kamar, kantor, warung, kafe, atau di mana pun. Terlebih senang lagi jika ada satu dua recehan kecil yang bisa kau ambil dari sini dan kau simpan baik-baik di saku yang kemudian bisa kau berikan pada pengamen, tukang parkir, atau celengan kaleng.

Terakhir, kuucapkan terima kasih sedalamnya pada kau yang membuka toples kudapan ini dan perlahan mengunyah renyah satu per satu isinya.


Semoga kau berkenan berdengar.