Naik Gunung dan Naik Haji
sebuah renungan penulis
Mungkin
Newton bila pada saat itu konteksnya adalah pembawa ajaran atau risalah tuhan,
jadilah ia nabi. Teorinya tentang aksi-reaksi yang menjelaskan bahwa segala sesuatu
yang terjadi adalah suatu keseimbangan terbukti sudah di mana-mana. Ketika ada
aksi terjadi pada suatu benda, keseimbangan selalu terjadi dengan adanya reaksi
dari benda tersebut. Alamiah, natural, sunnatullah. Namun, Newton memang
mungkin ditakdirkan bukan untuk menjadi nabi.
Orang-orang
Indonesia yang mayoritas muslim selalu memercayai bahwa naik haji adalah suatu
ritual sakral puncak rukun Islam. Hampir seluruh muslim Indonesia bercita-cita
naik haji untuk menyempurnakan ibadah mereka. Frasa naik haji seakan menjadi
tangga, di mana manusia melangkah untuk mencapai derajat spiritual yang “naik”
atau lebih tinggi dari sebelumnya. Namun, sebagaimana dikemukakan di awal
tulisan ini, teori Newton tentang keseimbangan (aksi-reaksi) selalu terjadi. Barang
kali tidak semua orang Islam menyadari bahwa naik haji itu pekerjaan “naik”
yang harus diseimbangkan dengan pekerjaan “turun”.
Apa
yang dimaksud dengan pekerjaan “turun”
tersebut? Yaitu pekerjaan menurunkan atau merendahkan segala hal yang bersifat
duniawi. Dalam perjalanannya mencapai kenaikan derajat spiritual, muslim yang
melakukan ibadah naik haji harus menyeimbangkan kenaikan itu dengan merendahkan
hatinya, merendahkan nafsunya, merendahkan segala kuasanya, untuk bisa dekat
pada yang Maha Tinggi. Newton menjelaskan bahwa reaksi terjadi sebagai
peristiwa alamiah oleh adanya aksi. Peristiwa alamiah ini adalah suatu
kesempurnaan yang telah ditetapkan Allah sehingga menjadi sunnah-Nya
(sunnatullah) karena semua yang hasil karya-Nya adalah kesempurnaan. Meskipun
teorisasi Newton mungkin sebatas pada perkara fisik, tetapi maknanya bisa cukup
kuat untuk menjangkau hal-hal nonfisik. Gambaran jangkauan teori Newton itu
bisa dijelaskan dengan konsep haji mabrur. Orang-orang yang melakukan ibadah
naik haji selalu mengimpikan bagaimana hajinya mabrur. Mabrur itu sendiri
ditandai dengan adanya peningkatan ibadah daripada sebelumnya. Peningkatan
ibadah ini sendiri menjadi suatu yang sempurna, sebagaimana sunnatullah, bila
dibarengi keseimbangan merendahnya hati serta merendahnya nafsu duniawi.
Lantas,
apa hubungannya dengan naik gunung? Naik gunung pun adalah sesuatu pekerjaan
“naik”. Hal yang menjadi inspirasi penulis adalah bahwa naik gunung tidak
sekadar pekerjaan melalui jalan terjal, membuka semak belukar, atau menikmati
pemandangan alam. Ada faktor nonfisik yang mesti diperhatikan oleh para pendaki
gunung, seperti harus menjaga sikap dan tutur kata saat melakukan pendakian.
Secara tidak langsung, peraturan ini merupakan manifestasi dari teori Newton
atau keseimbangan atau sunnatullah di mana ketika melakukan pekerjaan “naik”
gunung, pendaki tidak boleh ikut bertingkah atau bertutur kata tinggi/sombong. Terjadilah
reaksi “turun” ketika pendaki memberikan aksi “naik” gunung di situ. Naik
gunung mengajarkan pendaki bahwa mereka sangat kecil saat menghadapi alam
ciptaan-Nya sebesar gunung, setinggi gunung. Meskipun kemudian mampu
menaklukkan gunung, mencapai puncaknya, mereka dapat melihat bahwa mereka tidak
lebih dari segelintir debu dari cahaya mentari yang sangat indah dan hamparan
alam luas yang antah-berantah. Pencapaian ketinggian gunung pun menjadi
seimbang dengan perendahan hati, pengakuan kecil, pengakuan lemah manusia di
hadapan ciptaan-Nya, apa lagi kelak di hadapan-Nya.
Katakanlah,
salah besar bila naik gunung itu untuk mencari hiburan terlebih hura-hura. Naik
gunung adalah ritual di mana manusia bisa menyatu dengan alam, mendengarkan
suara angin, menjadi bisu dan terpejam bahwa Allah membisikkan sesuatu di
telinganya, “Rendah hatilah”.
No comments:
Post a Comment