Sunday 14 August 2016

Ibu, Sosok yang Melintasi Batas Manusia (2)

Mencoba merefleksikan –


1 Juli 2016

Saat tulisan ini kubuat, ritual doa untuk 100 hari meninggalnya ibu baru saja selesai seminggu lalu. Aku memang tidak bisa hadir secara fisik pada peringatan tersebut, tapi doa untuknya terpanjat setiap lima waktu. Tak kusangka sebelumnya bahwa tulisan ini akan kubuat di Pusdiklat EBTKE, tempat terakhir aku berpamitan pada almarhumah ibu tahun lalu sebelum akhirnya tanpa bertemu dengannya lagi langsung berangkat ke Kalimantan. Kali ini, aku bahkan akan pergi meninggalkan rumah untuk tempat yang lebih jauh dan lebih lama: Papua untuk satu tahun. Mengapa? Semoga tulisan ini bisa menjawabnya.

Selama seratus hari lebih setelah ibu meninggal aku banyak menemukan hal baru. Aku merasa ada sesuatu yang menggumpal dalam pikiran dan jiwaku yang semakin lama semakin menguat, sebuah kesimpulan atas kehidupan yang fana dan sifatnya sementara, sebuah skenario yang telah ditulis dan diarahkan menuju hal-hal yang berkaitan. Hasil refleksi itu “mendatangiku” tanpa kurencanakan dari pengalaman pribadi, juga dari buku-buku yang “menemukanku”.

Beberapa hari yang lalu Osa memintaku untuk mengumpulkan catatan harian sewaktu di lokasi penempatan karena diminta oleh ESDM. Kucari file catatan harian di Kalimantan, meskipun tidak utuh bisa kukirimkan juga sekadarnya. Permintaan catatan harian itu membuatku ingin membaca kembali apa yang pernah kualami selama di Kalimantan. Ternyata secara mengejutkan, ada peristiwa yang menyadarkanku bahwa tanda-tanda meninggalnya ibu telah tampak sebelum kabar duka tiba.


Di dalam Islam, begitu juga ajaran spiritual kultural Jawa, peristiwa meninggalnya seseorang akan didahului dengan adanya tanda-tanda sekitar tujuh hari sebelum nyawa dicabut. Catatan harianku di atas bertanggalkan 7 Maret 2016, sedangkan ibu meninggal tanggal 13 Maret 2016 malam. Setelah kurenungkan, mungkin itulah cara Tuhan menyampaikan salam pamitan ibu untukku. Dia menyampaikan salam melalui seekor burung yang perkasa, yang suaranya sanggup membuat burung-burung lain berhenti berkicau agar salam itu benar-benar sampai padaku. Di tengah suasana obrolan sore yang entah kapan bisa lagi terulang bersama bapak angkatku di Kalimantan itu, aku saat ini baru bisa mengilhami bahwa suasana hati kami sebenarnya juga murung. Kami murung mendengar suara sasmita burung Kangkatau, murung bahwa kami suatu hari nanti akan mengenang suasana sore itu, juga Tuhan mungkin menyelipkan kemurungan salam pamit dari ibu yang belum kusadari.

Meskipun tak terlihat, aku masih bersedih. Apa lagi ingatan-ingatan bulan puasa seperti ini adalah bulan yang paling dirindukan. Biasanya ibu akan bangun lebih awal, menyiapkan hidangan sahur untuk keluarga, bersama bapak membangunkan anak-anaknya, lebih giat menyuruh anak-anaknya untuk sholat berjamaah ke masjid, sholat taraweh, menyiapkan kolak pisang dari pohon yang bapak tanam sendiri di kebun belakang rumah, dan pada saat senja tiba tidak ada kebahagiaan yang lebih bernilai daripada duduk bersama-sama sekeluarga di hadapan hidangan sambil menantikan maghrib.

Aku tahu itu cuma kenangan. Pernah kubilang sebelumnya bahwa “hari esok tidak akan lagi sama untukku”. Ya, hari ini tidak sama lagi. Bukan hanya aku yang terpukul, tapi bisa kurasakan bapak dan adik-adikku juga. Inilah pertama kalinya, aku belajar sahur, buka puasa, dan melakukan rutinitas lainnya di bulan Ramadhan tanpa ditemani ibu. Aku, bapak, saudara-saudariku belajar untuk pertama kalinya untuk banyak hal tanpa almarhumah.
“Belajar” ini adalah hasil refleksi yang paling utama untukku dari meninggalnya ibu. Aku belajar lebih mandiri, mengingat dan menaati perintah-perintah ibu ketika hidup, dan dalam beberapa kesempatan melakukan hal-hal yang biasa ibu lakukan di rumah. Semuanya itu merupakan hal baru yang membuatku menjadi pribadi yang lebih mandiri lagi.

Perlahan tapi pasti, ternyata ketiadaan ibu membuatku merasa lebih dekat dengan Sang Pemilik Kehidupan. Aku merasakan bahwa orang sedekat ibu bisa dengan tanpa disangka diambil kehidupannya begitu saja. Namun ketika aku juga menemukan kehidupan dan kematian seseorang saat di Kalimantan, aku menjadi semakin yakin bahwa di mana pun, kehidupan dan kematian terjadi. Ada yang hidup di tengah keadaan yang berlimpah, berkecukupan, atau kekurangan. Ada yang meninggal dalam keadaan naas, tenang, atau penasaran.

Di belahan bumi mana pun, itu semua bisa terjadi. Selanjutnya, seperti telah Tuhan rencanakan buku-buku tentang kehidupan pun menemukanku. Buku-buku karangan Cak Nun, Ahmad Wahib, Soe Hok Gie, dan Pram menguatkan ilham itu, ilham bukankah kita tidak pernah meminta untuk hidup? Lalu hidup begitu saja diberikan. Maka, sewaktu-waktu hidup itu diambil sebenarnya kita tidak punya hak apa pun untuk menuntutnya. Kita hanya bisa berterima kasih bahwa kita diberi kesempatan mengecap indahnya kehidupan, bisa belajar tentang banyak hal, bisa mengenal keluarga tempat kita dititipkan, sahabat, teman, sosok-sosok manusia yang agung, dan semua kesempatan yang pernah didapatkan. 
Begitu pun dengan kehidupan ibu. Aku dan saudara-saudaraku hanya bisa berterima kasih kepada Tuhan bahwa kami lahir dari rahimnya, bapak berterima kasih karena disandingkan dengan sosok wanita yang amat sangat penyabar, tak pernah menuntut apa pun kecuali kebahagiaan dan keberhasilan anak-anaknya. Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah. Engkau telah berikan kami kesempatan berada di antara manusia agung seperti dia semasa hidup.

Aku masih ingat betul dulu ibu pernah berkata, “Semoga kelak kamu jadi manusia yang berguna buat bangsa, negara, dan agama.” Di kesempatan lain ibu pernah juga bilang, ”Laki-laki itu jauh lengkah. Jangan pikirkan wanita dulu. Artinya, laki-laki itu langkahnya jauh, kejar dulu cita-cita, jangan terburu-buru untuk menikah. Ketika aku berpamitan untuk pergi ke Kalimantan, ibu pun mendukungku. Aku cukup bersyukur bahwa aku ditinggalkan ibu dalam keadaan diridhainya. Di akhir pertemuan kami, di tepi jalan raya saat menunggu bis yang akan mengantarkanku ke Ciracas bulan September tahun 2015, aku masih ingat betul ibu memelukku sambil mengucurkan air mata haru bahagia bahwa anaknya bisa terus belajar, berkenalan dengan banyak orang, dan mencari pengalaman hidup. Aku hanya bisa terdiam sambil mengusap-usap punggungnya.

Kalimantan mengajarkanku banyak hal: ketulusan manusia, kebersamaan, kesederhanaan, kebahagiaan, kesedihan, pertemuan, perpisahan, merasa bersyukur, dan banyak lagi. Banyak sekali dari mereka yang tidak bisa merasakan fasilitas-fasilitas yang memadai. Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi orang pedalaman begitu sejak lahir. Sedih rasanya saat menyebutkan doraemon kepada anak-anak dan tidak ada yang mengenalnya. Perasaan ini semakin mengharukan ketika mereka dalam keadaan serba terbatas tersebut memiliki ketulusan hati. Mereka tidak mengenal aku sebelumnya. Aku bukan teman, saudara, apa lagi keluarga buat mereka. Namun, ketika aku membutuhkan tempat tinggal, kebutuhan sehari-hari, dan kehidupan sosial mereka dengan tulus memberikan apa yang mereka miliki: makanan, tempat tinggal, waktu, tenaga, dan pikiran. 

Aku tidak butuh alasan lebih lagi untuk mencintai mereka. Aku menemukan cinta di Kalimantan, cinta kepada keluarga, saudara setanah air, cinta kepada sesama manusia.
Maka sebenarnya, menyenangkan almarhumah ibu agar harapan terhadap anaknya tercapai menjadi alasan utamaku untuk melanjutkan jalan ini, menuju Papua, memberi dan menerima, menguatkan cinta kepada mereka sebagai saudara setanah air, sebagai sesama manusia. Ketiadaan ibu buatku menjadi pemacu tersendiri untuk lebih keras lagi terhadap diri sendiri dan dunia ini. Barang kali Kalimantan atau Papua memiliki rintangan, itu lah resiko yang akan dan harus kuhadapi untuk menggapai menjadi manusia seperi yang ibu doakan.

Dalam alasan lain, aku pernah menjawab pertanyaan seseorang. “Kenapa kamu ikut program ke Papua ini?” katanya di sebuah rumah antik. Aku cuma menjawab, “Jalan-jalan dan mencari.” Aku tahu, banyak teman-teman yang lebih berhasil daripada aku sewaktu penempatan lokasi di Kalimantan. Aku sadar belum banyak aksi yang kuperbuat dalam konteks pemberdayaan masyarakat banyak. Namun, di luar itu ada hal-hal yang aku yakin sulit untuk diukur mengenai pengalaman dan pembelajaran pribadi selama di desa pedalaman. Pengalaman dan pembelajaran itu barang kali tidak bisa terlihat sebagai sesuatu yang kasat mata, tetapi terasa sangat mendalam buatku. Hal itu yang masih ingin kucari dan kudapatkan dengan “berjalan-jalan”, bertemu dengan orang-orang, menjalin hubungan kekeluargaan dengan mereka, menerima dan memberi, serta menemukan makna dari semua ini.

Aku masih mencari seberapa besar yang bisa kuberikan, aku berutang pada mereka yang berada di pedalaman atas semua pendidikan dan ilmu yang telah kuperoleh karena secara tak langsung ada hak mereka di diriku, maka utang itu harus kubayar. Aku masih mencari untuk apa Tuhan menciptakan negara seindah Indonesia. Aku masih mencari untuk apa Tuhan menciptakan perbedaan-perbedaan. Aku masih mencari untuk apa kita saling mengenal. Aku masih mencari untuk apa hidup ini.


Tuhan telah memberikanku akal dan hati. Meninggalnya ibu bisa menjadi sebab keterpurukan atau justru kebangkitan diriku. Bekal akal dan hati telah Tuhan berikan untuk menunjukkanku bahwa aku harus bangkit. Aku ingin ibu di sana dalam keadaan terang benderang, lapang, melihatku berproses untuk menjadi manusia. Aku yakin bahwa suatu saat nanti, akan ada tempat aku dan ibu bisa berkumpul lagi. Di sana aku ingin mengatakan padanya bahwa aku sudah lulus menjadi manusia.

No comments:

Post a Comment