Sunday 29 May 2016

Ibu, Sosok yang Melintasi Batas Kelemahan Manusia



















I love my mom, Gunung Lawu 1-12-2013. Kuperlihatkan foto ini pada ibu beberapa waktu setelah pendakian Gunung Lawu. Ia malah berkata, "Kenapa wajahmu merah begitu?" Mungkin ia malu untuk mengomentari tulisan di atas kertas. Foto oleh Hanif Junaedi Adi Putra.




Sebuah Kronologi –


Namaku Soni Mijaya. Tulisan ini menceritakan sebuah kisah saat usiaku hampir 25 tahun. Asalku dari Pandeglang, Banten. Dalam program Patriot Energi aku ditempatkan di Desa Pembeliangan, Kecamatan Sebuku, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.

Bukan Pandeglang, Kediri (tempatku sekolah), atau Jogja (tempatku kuliah) tempat yang menyaksikanku menangis panjang untuk hal ini. Adalah sebuah desa di seberang pulau yang jauhnya ribuan kilometer dari asalku, desa yang bernama Mansalong di Kalimantan Utara yang menjadi saksi bisu malam itu. Saksi bisu akan perasaan sedih, kecewa, bersalah, lelah, bingung, dan takut karena sebuah kabar: ibu meninggal dunia.

Tulisan ini kubuat dua bulan setelah berlalunya ibu sehingga kurasa sudah cukup reda perasaan ini kalau mengingat-ingatnya kembali. Malam itu, 13 Maret 2016 waktu menunjukkan hampir pukul 12. Aku baru saja selesai mengobrol dengan Pak Rudi, bapak sekretaris camat Sebuku di ruang televisinya. Kami asyik mengobrolkan banyak hal, mulai dari ide-ide Pak Rudi jika pemekaran kabupaten Bumi Daya Perbatasan (BDP) telah disahkan sampai perkembangan olahraga tinju bebas di Indonesia yang dipantau salah satu stasiun televisi swasta. Temanku, Rico sudah pulas terlentang di kamar.

Aku dan Rico tiba di rumah Pak Rudi sehari sebelumnya. Tugas kami di desa masing-masing telah selesai sehingga berencana mengunjungi desa lokasi Patriot lainnya yang ada di wilayah III Kabupaten Nunukan. Beberapa hari sebelumnya telah kami habiskan di desa lokasi Din dan Nanda, mengikuti mereka melakukan sosialisasi tentang PLTS, dan mengenal serta bermain voli bersama para warga di sana. Setelah dari lokasi Din dan Nanda, kami berencana mengunjungi desa Sumentobol, tempat Makruf dan Anggun berada. Selanjutnya, bersama-sama secara serempak kami bisa meninggalkan Kalimantan karena beberapa hari lagi masa tugas mereka pun telah selesai.

Desa Sumentobol merupakan salah satu desa di hulu sungai Sebuku yang cukup terisolasi. Tidak ada sinyal, tidak ada akses yang mudah untuk ke sana. Jalur yang harus ditempuh untuk sampai ke sana adalah sungai yang punya banyak jeram. Perahu yang digunakan pun adalah perahu panjang dengan mesin dan kapasitas terbatas. Aku dan Rico singgah di rumah Pak Rudi dalam rangka menanti perahu tersebut. Dan malam itu adalah hari kedua kami di rumah Pak Rudi karena kami belum juga mendapatkan perahu. Besok kami akan menengok kembali pangkalan perahu.

Namun, rencana tinggal rencana. Takdir berbicara lain. Saat aku masuk kamar, kulihat ada beberapa missed call dari kakakku. Firasatku mengatakan ini musibah karena tak pernah sekali pun ia menelepon pada saat larut malam. Maka, seketika itu pun kutelepon kembali nomornya.

Lututku lemas saat telepon diangkat di ujung sana. Yang kudengar hanya isak tangis yang tak henti-henti sambil mengatakan, “Encon, mamah Encon. Mamah meninggal.”

Aku masih sadar untuk mengatakan, “Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.” Kupandangi dinding kayu bekirai dari kamar yang mengurungku. Telepon genggam masih melekat di telingaku dan suara isak tangis di ujung sana masih meraung-raung. Sebagai lelaki yang paling tua, aku coba menguatkan kakak perempuanku, memintanya bersabar, dan menyebut asma Allah.
Aku masih ingat betul malam itu, meski perasaanku sendiri kacau tapi kucoba untuk tidak membuat suasana keluarga semakin larut dalam kesedihan. Kucoba untuk meyakinkannya bahwa aku cukup tabah mengahadapi ini, sendirian di daerah yang sangat jauh dari kampung halaman. Kutunggu kakak mereda beberapa menit dari telepon dan kututup telepon saat suara tangisnya mulai merendah.

Telepon kuletakkan kembali di tempat semula. Rico telah pulas tertidur di tempat tidur. Segan kubangunkan dia meski dalam keadaan begini. Biar kunikmati ini sendirian. Kusandarkan kening di dinding kamar dengan tangan yang menopang. Kulepaskan semuanya dari pikiran yang kalut, hati yang hancur, dan raga yang lemas.

Tetes-tetes, air mata jatuh dari kelenjar yang kempis dan kembung selebar-lebarnya. Asin air mata dan ingus yang mengalir ke mulut terasa pahit di dadaku. Kurasa pahit untuk mengenangkan bahwa ibu yang hanya satu kumiliki di dunia ini meninggal di usia 44 tahun, tanpa disangka, tanpa dimengerti. Kurasa kecewa karena perpisahan ini terjadi tanpa ucapan selamat tinggal dan berada di sisinya. Kekhawatiran yang semula hinggap di diriku akan nenek yang telah sering sakit-sakitan ternyata terbantahkan oleh kenyataan ini, anak perempuannya telah mendahului dirinya.

Telepon kembali berdering, kuusap mataku dan kutahan isak tangis sebaik mungkin. Bapak berbicara di ujung telepon dan mempertanyakan apa yang akan kulakukan. Kubilang aku akan pulang hari ini juga. Paling cepat besok malam aku bisa tiba di rumah. Bapak pun meminta izin padaku untuk memakamkan ibu siang hari itu juga sehingga aku tidak akan punya kesempatan melihat lagi wajahnya. Aku hanya menjawab, “Iya, kasihan mamah. Segera dimakamkan saja.” Tangis berlanjut entah untuk berapa lama waktu berselang hingga pagi tiba tanpa kuketahui.

Kuceritakan pada Rico apa yang terjadi tadi malam. Sebagai sahabat seperjuangan, ia begitu hangat padaku, memintaku untuk bersabar dan menerima semuanya dengan hati yang lapang. Keluar kamar, kudapati Bu Sekcam dan menceritakan bahwa ibuku telah meninggal. Kubilang membatalkan kepergian ke Sumentobol. Setelah memberikan wedang uwuh dan kain batik dari Jogja pada ibu dan bapak Rudi, aku berpamitan. Masih kuingat raut wajah mereka yang terkejut dan prihatin kepadaku. Sempat beberapa pertanyaan kujawab singkat. Mereka pun bisa mengerti. Kuusapi kepala Aiman, adik kecilku yang manis. Sayang, meninggalkan keakraban kami dalam keadaan begini. Rico mengantarkanku ke pelabuhan Malinau pagi itu juga. Ia sempat memotretku dari belakang saat aku melangkahkan kaki ke speedboat. Sampai jumpa, Sahabat.

Aku tahu pikiran dan hatiku masih kacau. Tiga jam perjalanan melintasi sungai dan laut membuat pikiranku berkecamuk, tentang kenyataan baru ini, tentang kenyataan-kenyataan baru yang akan kuhadapi. Namun, yang terjadi selanjutnya adalah “aku hanya tidak peduli”. Aku tidak peduli bagaimana caranya pulang dari pedalaman Kalimantan, ada atau tidak pesawat yang membawaku hari itu juga, berapa biaya yang harus kebayar, berapa besar sakit yang harus kutanggung, berapa banyak kebingungan-kebingungan yang menghantuiku atas pernyataan-pernyataan yang menyayat hati: itu dia ibumu, yang biasa memasakkan makanan untukmu di rumah, yang biasa menantikanmu dalam tangis ketika kau tiba di rumah setelah lama di perantauan, yang sering kau memanja padanya untuk mengerok punggungmu kalau kau masuk angin atau mengusapkan minyak kayu putih, yang biasa duduk di tengah rumah sambil minum teh, dan besok atau lusa akan seperti biasanya tetapi tidak untukmu.

Sepanjang perjalanan, aku hanya berdoa, berdoa, dan berdoa untuknya. Berulang kali mata berkaca-kaca, berulang kali pula kuusap. Aku hanya ingin tidur dan semoga bertemu dengannya dalam mimpi sehingga aku yang banyak bersalah ini bisa meminta maaf, mengucapkan selamat tinggal padanya, tetapi tak bisa. Begitulah perjalanan sepanjang Kalimantan hingga aku tiba di Jakarta. Keadaan semakin sendu saat bibiku menjemput di bandara dan kami duduk di rest area berbincang banyak apa yang terjadi selama aku di Kalimantan.

Setiba di rumah, orang-orang masih ramai padahal jam sudah menunjukkan pukul 00.30 WIB. Mereka bergadang, menunggui rumah sambil mengobrol atau m0engaji. Semua adalah saudara-saudara ibu, kakek, nenek, bapak, dan adik-adikku. Tangis tak bisa dicegah lagi untuk pecah di situ, di rumah kami. Aku tak mau meraung, aku meyakinkan mereka bahwa aku cukup tegar. Aku pun sedih, tetapi biarlah semua telah ditentukan.

Kudengar cerita demi cerita bagaimana semuanya terjadi. Mereka yakin bahwa sebenarnya ibu telah diberi kesempatan kedua setelah bulan Desember tahun 2015 hampir saja tak bisa lagi “bangun”. Aku ingat bulan itu aku masih di desa Pembeliangan dan ditelepon bahwa ibu sedang dirawat di rumah sakit karena diabetes dan gejala liver, tetapi tidak lama berselang ibu sudah bisa dibawa pulang lagi ke rumah.  Meskipun aku juga sempat kaget karena saat melepas kepergianku ke Kalimantan ibu masih sehat dan bugar, tapi syukurlah ibu tak lama dirawat di rumah sakit.

Tidak ada yang menyangka juga bahwa ibu akan wafat karena sebelumnya keadaan ibu sudah mulai pulih. Ibu juga tidak pernah meninggalkan pesan apa-apa yang biasa menjadi pesan terakhir bagi orang yang akan meninggal. Keluargaku hanya bisa berserah bahwa semua terjadi karena takdir semata. Dan maut, bila Tuhan telah berkehendak maka tak bisa dipercepat atau diperlambat.

Bapak bercerita bahwa pada hari ibu meninggal, ibu seperti biasa dalam perawatan. Makan malam ibu disuapi oleh adik laki-lakiku lalu beristirahat di tempat tidur. Semuanya biasa saja sehingga adikku pergi main keluar dan bapak tidur di sebelah ibu. Namun, tiba-tiba saja nafas ibu seperti tersengal sekitar pukul 10 malam sehingga bapak terbangun. Bapak mendekatkan mulutnya ke telinga ibu untuk melafadzkan kalimat-kalimat syahadat. Bapak mulai berkaca-kaca karena ibu sempat kejang-kejang dan terlelap untuk selamanya.

Segera setelah itu bapak meminta bantuan para tetangga dan membawa ibu ke rumah sakit. Bapak hanya ingin memastikan apakah ibu “masih ada” ataukah tidak. Bantuan kejutan pun dilakukan, tetapi tak berdampak apa pun. Dokter pun memberi tahu bahwa ibu telah tiada. Kemungkinan besar meninggalnya adalah serangan jantung. Saat itulah kakak meneleponku.



No comments:

Post a Comment