Sepanjang hari, fajar menyeruak di ufuk timur mengawal datangnya hari yang baru. Adakah posisi bumi terhadap matahari sang pembawa fajar meleset dari orbitnya hingga tadi pagi atau kemarin fajar terbit dari ufuk barat? Adakah semua ini berjalan secara kebetulan? Foto diambil di Sebuku, Nunukan, Kalimantan Utara. Foto oleh Soni Mijaya.
Kemarin siang, seorang kawan dekat dengan usia terpaut dua
tahun lebih tua melamar seorang gadis Jogja. Ah, aku kenal mereka berdua hampir
dua tahun terakhir ini. Sungguh, tak kusangka kalau mereka sedekat itu dan
berakhir dengan lamaran dan pernikahan. Tak banyak pertemuan yang kusaksikan
karena kawanku kutahu betul, ia tinggal satu atap bahkan satu kamar denganku. Tak
pernah juga kudengar cerita-cerita tentang sang gadis. Bahkan, yang sering
kudengar adalah kisah gadis yang lain beberapa bulan sebelumnya (sebelum aku
pergi ke Kalimantan). Sungguh, tak kusangka.
Melewati perjalanan selama satu jam pada Jumat siang yang
cerah, mobil membawa rombongan kami menuju Kulonprogo, rumah sang gadis, dari
jalan Ringroad barat menuju jalan Wates – Purworejo. Sekitar setengah jam
melintas di jalan utama, mobil masuk ke dalam jalan kecil yang ternyata cukup
dalam dan bertebaran hutan di kanan kirinya selama setengah jam berikutnya.
Begitu dalam, begitu pelosok rumah sang gadis, pikirku. Namun, hal ini justru
menimbulkan gairah ilham di alam pikiranku.
Kawanku, Bayu Sutrisno namanya, seorang Jawa yang tampan
menurut pandangan umum. Ia berasal dari Bojonegoro, sebuah kabupaten di Jawa
Timur yang kurang lebih mirip keadaannya dengan Kulonprogo. Ia berasal dari
kampung yang dalam, penuh dengan hutan dan tambang-tambang tradisional
peninggalan zaman kolonial. Meskipun aku belum pernah ke rumahnya, tapi
berdasarkan cerita kawan yang lain, pelosok juga keberadaanya.
Di dalam jiwa dan pikiranku akhirnya semakin menguat
kesimpulan-kesimpulan ini. Siapa kita yang sanggup melawan perasaan di dalam
sukma terhadap seseorang? Siapa kita yang manusia kecil di antara semesta yang
luas ini mampu menyangka bertemu jodoh dari kampung nan jauh di sana dengan
kampung nun jauh pula di sini? Siapa kita yang akhirnya hanya mampu tersenyum
dan semakin yakin bahwa pertemuan ini telah diatur, telah dirancang, dan telah
ditentukan kapan dan bagaimananya? Siapa kita, kalau bukan hanya seorang hamba
yang berada di bawah kehendak-Nya.
Akhirnya, proses lamaran berjalan dengan lancar. Lamaran
telah diterima. Dua keluarga telah dipertemukan. Sepasang kekasih telah
bertukar senyuman. Doa-doa telah diucapkan. Tanggal pernikahan pula telah
ditetapkan. Dari persaksian ini, aku banyak belajar. Kupikir, sebenarnya anugerah
Tuhan yang bernama cinta itu adalah suci. Hanya, tinggal bagaimana manusianya
yang menuntun anugerah itu ke arah mana. Dan Bayu sudah menunjukkan padaku
mewahnya kesucian itu dalam cara yang mulia.
Sepanjang perjalanan pulang, tampak olehku mentari sore
tampak bulat penuh bersarang di atas bukit Menoreh. Lamat-lamat dalam hati aku
menginsyafi bahwa sampai saat ini, anugerah Tuhan yang suci itu belum
kuperlakukan seharusnya. Entah, mungkin masih panjangkah perjalanan hidup ini
atau kah memang belum saatnya kudapati keyakinan. Aku berserah.
No comments:
Post a Comment