Thursday 19 May 2016

Amat Idang

Tiang-Tiang Jaringan Listrik. Akhirnya pada tahun 2015, tiang-tiang jaringan distribusi listrik berdiri tegak di antara lebatnya hutan Desa Pembeliangan. Jaringan listrik tersebut mendistribusikan energi listrik dari PLTS dan PLN melalui sistem hybrid. Foto oleh Soni Mijaya



Hari itu adalah hari Kamis, 29 Oktober 2015, satu minggu sejak kedatanganku untuk sebuah program di Desa Pembeliangan, Kecamatan Sebuku, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Aku duduk di sebuah kursi panjang di teras kantor desa. Urusan administrasi dan perkenalan tentang program pendampingan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan kepala desa telah selesai. Meskipun cara penuturan bahasanya tidak biasa bagi perasaanku, tetapi aku cukup diterima olehnya. 

Beberapa perangkat desa tampak sibuk berjalan kesana kemari. Hampir tak kuhirauhkan mereka karena pikiranku masih melayang mencari cara agar mendapatkan tempat tinggal untuk lima bulan ke depan. Kepala desa maupun sekretarisnya juga tidak bisa memberikan jalan keluar, baik berupa kos atau sewa rumah. Selama satu minggu lebih ini, aku tinggal di rumah seorang sekretaris camat di desa lain yang ditempuh selama 2 jam perjalanan darat. Terlalu berat bagiku jika harus berangkat setiap hari dengan kendaraan yang belum pasti ada. Di tengah lamunanku, tiba-tiba seorang bapak setengah baya menghampiriku.

“Mas.” Dia tersenyum sambil duduk di sebelahku dengan memegang selembar kertas seperti peta.

Kami pun berkenalan. Bapak berperawakan besar dengan kumis tebal yang rapi itu adalah ketua RT 3 sekaligus orang yang ditugaskan kepala desa untuk mengurus pembangunan PLTS di desa. Mengetahui aku adalah orang dari Jawa yang ditugaskan untuk pendampingan PLTS, alih-alih ia berbicara tentang PLTS, ia malah banyak bercerita tentang keadaan di desa. Dengan antusias, ia gambarkan bagaimana keadaan Desa Pembeliangan, termasuk kekayaan hutan, sungai, udang, ikan, lahan, dan potensi-potensi besar lainnya yang belum dikembangkan secara maksimal. Ia juga bercerita bahwa ia memiliki kelompok di RT-nya yang berfungsi layaknya koperasi meskipun tidak bersifat resmi. Tampaknya, ia ingin potensi-potensi tersebut diketahui orang pendatang sepertiku.

Banyak informasi yang kuperoleh darinya. Hal itu memudahkanku untuk mengenal lebih dekat desa Pembeliangan. Selanjutnya, aku kembali lagi pada kegundahanku. “Ada kah tempat tinggal yang bisa kutempati di desa untuk lima bulan ke depan, Pak?”

Ia mengernyitkan dahinya beberapa saat. “Wah, maaf sepertinya tidak ada, Mas.” 

Baiklah, bertambah besar kekhawatiranku karena sudah tiga orang perangkat desa yang kutanyai mengenai tempat tinggal memberikan jawaban serupa. Akhirnya, setelah bertukar nomor ponsel dengannya aku pun pulang. 

Seminggu kemudian, aku belum bisa beranjak ke desa Pembeliangan lagi karena terkena penyakit yang sangat mengganggu. Seminggu lamanya pergerakanku terbatas di dalam rumah. Beruntung bagiku Bapak sekretaris camat adalah orang yang sangat baik. Ia merawatku layaknya anak sendiri hingga sungkan rasaku terus tinggal di rumahnya. Di hari ketika penyakitku berangsur-angsur pulih, ponselku berdering. Pak RT menelepon.

“Halo, Pak.”

“Halo, Mas Soni. Sekarang Mas Soni di mana?”

“Di Mansalong, Pak. Ada apa, Pak?”

“Wah, jauh benar tinggalnya. Mas Soni ke sini saja. Lebih baik tinggal di rumah saya, ya meskipun kondisi rumah saya seadanya. Kebetulan ini kontraktor PLTS juga baru tiba dan tinggal di rumah saya. Bagaimana, Mas?“

Seperti mendapatkan angin segar yang kutunggu-tunggu sekian lama, kontan aku langsung saja mengiyakan ajakannya. “Baik, Pak. Besok saya berangkat ke Pembeliangan ya.” Sebenarnya sedikit terbersit dalam benakku mengapa Pak RT mengajakku tinggal di rumahnya setelah seminggu yang lalu ia tidak memberikan kesempatan. Pikiran ini pun kusimpan dulu. Suatu saat kemudian akhirnya kutemukan sendiri jawabannya.

Keesokan harinya, aku sudah tiba lagi di desa Pembeliangan dengan membawa barang-barang perlengkapan. Rumah Pak RT memang lazimnya rumah warga lainnya di sini, berupa rumah panggung kayu, tetapi ada kesan yang menarik di sini. Di depan rumahnya ada sungai kecil yang ditumbuhi dengan teratai dan rerumputan rawa. Sebuah jembatan kayu membentang di atasnya, menyuguhkan sebuah rumah panggung cantik berwarna biru di ujungnya. Sederhana memang, tak ada kemewahan dari bahan-bahan yang mahal, tetapi kesan yang diberikan adalah keelokan alam. Aku bertemu Pak RT dan orang-orang kontraktor PLTS di sana. Aku dan para kontraktor sebanyak tiga orang dipersilakan tinggal di tengah rumah untuk meletakkan barang-barang juga beristirahat. Kami dipinjami kasur lantai dan beberapa bantal untuk beristirahat. Tidak ada kamar mandi di rumah Pak RT. Yang ada hanyalah sebuah tempat mandi terbuka di samping rumah dan sebuah WC “alam” dengan jarak agak jauh dari rumah. Dari rumah amat sederhana ini lah pengalaman hidup yang berarti dimulai.

Selama pembangunan PLTS, hampir setiap hari Pak RT, aku, dan para kontraktor pergi ke lokasi pembangunan PLTS. Kontraktor melakukan pembangunan PLTS sebagaimana mestinya. Pak RT dan aku kadang hanya memantau dari sekitar, tetapi tidak jarang juga ikut andil dalam pekerjaan fisik pembangunan PLTS. Setiap saat jam makan, baik pagi, siang, atau pun malam Pak RT selalu mengajakku untuk makan bersama.

Setelah satu minggu tinggal di rumah Pak RT, aku bingung karena tidak pernah membayar makanan. Bapak atau pun Ibu RT tidak pernah membicarakan sebelumnya jika harus membayar setiap kali makan atau berapa harganya. Akhirnya kuputuskan bertanya pada kontraktor yang setiap hari juga makan makanan yang sama denganku.

“Mas, selama ini makan di rumah Pak RT bagaimana ketentuannya?” Tanyaku pada salah satu dari tiga orang kontraktor yang tinggal bersamaku.

“Oh itu bayar per menu Rp 15.000, Mas.” Jawabnya.

Astagfirullah. Aku tak tahu jika ada ketentuan tersebut. Maka, setiba di rumah Pak RT aku langsung menuju dapur dan menemui Bapak dan Ibu RT. 

“Pak, Bu, mohon maaf saya sudah seminggu tinggal di sini dan makan seenaknya saja tanpa membayar.” Kataku penuh penyesalan. Langsung kusambung lagi, “Mungkin ini sedikit biaya untuk belanja makan sehari-hari, Pak, Bu.”

“Wah Mas Soni, tidak usah. Benar-benar tidak usah. Kalau untuk makan tidak usah bayar. Kami sudah biasa. Kalau ada yang bisa dimakan ya alhamdulillah, kalau tidak ada ya tidak bisa makan. Tidak perlu membayar Mas Soni.”

Aku semakin bingung. Tadi kontraktor berkata jika mereka membayar. Sekarang aku ingin membayar tapi Bapak tidak mau. Kemudian sedikit kupaksakan untuk tetap membayar. Namun, Pak RT semakin tidak ingin juga untuk dibayar hingga akhirnya aku menarik diri, khawatir jika membuat Pak RT tersinggung.

“Benar, tidak perlu Mas Soni. Kalau sedang ada makanan ya alhamdulillah ada yang bisa dimakan.”

“Aduh, Bapak. Saya tidak tahu harus mengucapkan apa lagi selain terima kasih.” Maka sejak saat itu, aku bagaikan menemukan ayah dan ibu kedua, keluarga baru di sebuah tempat antah-berantah yang bahkan tak kukenal sama sekali sebelumnya. Adalah hati nurani yang ikhlas dan tulus jawaban atas pertanyaanku mengapa aku ditelepon saat itu untuk tinggal di rumah Pak RT.

Hari-hari selanjutnya kulalui hampir selalu bersama-sama Pak RT. Selain mengunjungi lokasi pembangunan PLTS, ia sering mengajakku pada acara-acara kemasyarakatan, seperti rapat desa, pembacaan doa selamat orang yang meninggal, bayi yang baru lahir, pendataan warga, hingga gotong royong acara adat. Ia bahkan beberapa kali mengajakku ke hutan rimba di desa yang memiliki luas wilayah 70.000 ha ini untuk menunjukkan padaku segelintir orang yang rela tinggal berbulan-bulan lamanya di hutan untuk menjaga hutan dari eksploitasi. Tampak terlihat olehku setiap orang yang kami temui begitu menaruh rasa hormat kepada Pak RT, baik warga RT 3 atau pun RT lain.


Pembuatan Perahu Panjang Adat Irau.  Para warga bergotong royong membuat perahu panjang untuk perayaan acara Adat Irau yang diselenggarkan satu tahun sekali. Tampak pada foto, Pak RT yang mengenakan tutup kepala dan mandau adat suku Tidung memahat kayu untuk menjadi badan perahu. Foto oleh Soni Mijaya


Pada suatu malam, ketika listrik dari PLTD desa telah padam pukul 24.00 WITA (listrik PLTD desa hanya menyala dari pukul 18.00 s.d. 24.00), aku dan Pak RT masih duduk-duduk di teras rumah sambil menikmati segelas teh panas.

“Kenapa tidak berkebun sayur-mayur, Pak?” Tanyaku malam itu. Kulihat banyak lahan Pak RT yang tertidur, tak termanfaatkan secara maksimal. Jika saja dimanfaatkan untuk sayur mayur, akan ada tambahan penghasilan untuk keluarga Pak RT.

“Dulu aku dan ibu bertanam sayur-mayur, Son. Kau bisa lihat bekas-bekas bedengannya di kebun sawit. Namun, sejak menjadi ketua RT tidak ada lagi waktu luang buatku berkebun sayuran. Padahal, dengan berkebun sayuran dulu aku bisa membangun rumah ini dan bisa saja menguliahkan anakku yang pertama jika ia tak memilih langsung menikah.”

“Memang sejak kapan jadi ketua RT 3, Pak?”

“Sudah lama, mungkin belasan tahun sudah lamanya aku menjadi ketua RT. Sebenarnya sudah cukup lelah aku menjadi ketua RT, tetapi apalah daya wargaku hanya ingin aku yang menjadi ketua RT. Kau lihat sendiri kan, semua ketua RT diganti setelah kepala desa yang baru dilantik beberapa bulan lalu, terkecuali aku. Tak tahulah aku juga Son, kenapa warga tidak mau memilih orang lain.”

“Mungkin karena sudah sangat percaya pada Bapak.” Aku menukas.

“Entahlah. Rumah ini dari dulu selalu didatangi orang-orang dari jauh, ada yang membangun rumah sakit, PLTD, PAM, dan sekarang PLTS padahal ada rumah kepala desa atau pun kantor desa.”

“Rumah sakit yang di pinggir jalan sebelum lokasi PLTS itu, Pak?” Aku ingat ada rumah sakit Pratama yang sedang dibangun beberapa puluh meter sebelum lokasi PLTS.

“Iya, Son. Dulu aku yang mengurus pembukaan lahan hutan di lokasi rumah sakit tersebut sampai pengerukan dan perataan tanahnya. Mungkin orang-orang berpikir ketua RT 3 ini banyak uangnya. Padahal, tugas tersebut dipasrahkan padaku karena tidak orang lain yang mau, tidak ada uangnya. Tanah-tanah timbunan dari pengerukan lahan kupersilakan pada warga untuk mengambilnya cuma-cuma asal mereka ada truk pengangkut. Itu pun masih ada warga yang berprasangka buruk bahwa aku menjual tanah hasil kerukan tersebut.” 

“Kenapa ya Pak masih ada yang berprasangka buruk begitu?”

“Ya begitulah warga di sini, Son.” Pak RT menghembuskan asap-asap rokok sambil bersiap meneruskan bicara. “Faktor pendidikan yang terbatas, wawasan yang kurang, dan pergaulan yang sempit barang kali adalah penyebabnya. Lumayan lebih baik saat ini pendidikan dari SD sampai SMA sudah ada di wilayah kecamatan. Dulu, untuk bisa sekolah SMP dan SMA kami harus ke luar wilayah dan tinggal di sana dengan indekos atau mengontrak rumah. Aku sendiri dulu sekolah SMP dan SMA sambil berjualan. Pulang sekolah, aku berjualan untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah. Enam tahun lamanya aku sekolah dan belum pernah sekali pun aku pulang demi pendidikan saat itu.”

Aku membayangkan betapa sulit hidup zaman itu di sini. Jalan belum ada, alat transportasi mungkin hanya melalui sungai, terlebih lagi listrik karena saat ini saja listrik hanya bisa menyala beberapa jam di malam hari. Gelap gulita semua yang tampak.

“Maka kami benar-benar bersyukur akhirnya setelah sekian lama merdeka listrik bisa masuk juga ke desa kami.” Pak RT melanjutkan. “Bayangkan, bertahun-tahun lamanya kami hidup tanpa penerangan lampu. Bantuan PLTD desa dari Pemda juga belum lama beroperasi, beberapa tahun ini saja. Sebelumnya hanya lampu minyak yang kami gunakan. Sedangkan harga minyak di sini dua kali lipat dari harga minyak di Jawa.” Ia tertawa.

Aku hanya bisa terdiam membisu, turut prihatin dengan keadaan yang timpang ini. Aku jadi ingat bagaimana listrik setiap saat bisa dinikmati di kota. Ketika mata terpejam dan lampu kamar tidur masih menyala di sana, anak-anak di sini untuk belajar di malam hari harus bersusah payah mendekati pelita yang dikerumuni kelekatu. Ketika mal besar berkilauan dengan jutaan watt daya di sana, para warga di sini harus meraba-raba dalam kegelapan untuk sekadar membuang hajat. Saat gegap gempita lampu sorot dan sound system setiap malam menggelegar di sana, orang-orang di sini hanya bisa merayakannya dengan sepi dan sunyi senyap yang mencekam. 

Waktu pun berlalu begitu cepat. Pembangunan PLTS telah selesai. Kontraktor telah pulang, pemasangan instalasi sedang dilakukan. Masa tugasku pun telah usai. Tak ada perpisahan yang tak menyedihkan, karena tak ada manusia di jagat raya ini yang bisa menjanjikan waktu pertemuan kembali di masa yang akan datang. Mungkin air mata tak bisa mengobati kesedihan ini, tetapi paling tidak bisa memberikan sedikit rasa lega meski tanpa alasan. Pelajaran yang tak pernah kulupakan dalam program ini adalah mengenal seorang ketua RT, pahlawan tak dikenal yang tulus dan sabar mengurus warganya dan bekontribusi besar dalam pembangunan desanya, bapakku Amat Idang.

PLTS Hybrid Desa Pembeliangan. Pembangunan PLTS hybrid di desa Pembeliangan dengan kapasitas 100 kwp (kilo watt peak) selesai dalam waktu tiga bulan. Normalnya, PLTS berkapasitas 100 kwp bisa melistriki sekitar 500 rumah khusus untuk penerangan. Foto oleh Soni Mijaya




No comments:

Post a Comment